Teror dua Pendaki ke Gunung Ciremai part 1

Ahmad Sidik
By -
Cerita dari Edge Mountain (Aras Anggoro)


Tidak ada yang salah selama kita naik, sampai puncak juga ngecamp. Masalah baru muncul menjelang kita turun, di Pengasinan Ayu haids.
Setelah memasang pembalut, kita langsung turun. Pamit sebentar dengan pendaki Wonosobo yang kemarin sempat ngobrol dipuncak. Mereka menyarankan ngecamp semalam lagi karena sudah mulai sore. Tapi karena besok kita berdua kerja, ngecamp semalam lagi jelas ngga mungkin.

Masuk hutan lagi. Ayu jalan duluan, aku dibelakangnya biar bisa mengawasi. Kita berjalan pelan. Jalur Linggarjati agak bahaya untuk dibawa lari. Sebentar-sebentar Ayu minta istirahat. Mungkin pengaruh haids.

Keanehan mulai terasa ketika kita melewati pos Sanggabuana, kita tidak bertemu satu pendaki pun yang naik. Padahal ramainya pendaki inilah yang membuat saya berani turun walau kesorean.

Jam 5 sore kita sampai di pos Batu lingga. Ada sedikit tanah lapang buat kita istirahat. Disini kita masak mie dan nyeduh kopi.

"Gimana di, udah sore banget. Ngecamp lagi apa gimana? " Kata Ayu. Mukanya jelas cape dan khawatir.
"Lanjut aja Yu, sekalian cape." Kataku.

Setelah dirumah barulah aku tahu, kesalahan fatal dibuat disini dan di Sanggabuana.
Ayu cerita, waktu di Sanggabuana, dia sebel banget harus bentar-bentar berhenti karena kasih jalan pendaki yang mau naik. Dia sempet ngomel, "andai ngga ada yang naik lagi, enak nih turun, ngga keganggu"
Entah kebetulan atau tidak, memang betul kami tak pernah lagi berpapasan dengan pendaki lain.
Kesalahan kedua, dan yang paling fatal. Di Batu lingga Ayu membuang bekas pembalut nya ke kerimbunan semak.

Mulai dari sini sampai bawah adalah terror.

Beres-beres peralatan. Packing ulang. Kita langsung jalan. Hari sudah gelap karena menjelang magrib. Ayu didepan, aku dibelakang.
Bulu kuduk mulai berdiri. Rasanya diantara semak, dibalik pohon, disetiap tempat yang gelap ada yang mengawasi. Kepalaku mulai nyeri. Berdasarkan pengalamanku, kepala yang nyeri biasanya ada aktifitas mistis.

Di belokan hutan, aku kaget melihat Ayu berhenti dan badannya menghadapku. Suaranya gemetar, dia bilang, "Di, lu jalan duluan ya. Gw pegangan keril lu ya. "
Aku mengangguk. Jadi sekarang aku jalan duluan, sementara Ayu pegangan carrierku dibelakang. Jalanan sudah gelap total. Penerangan cuma dari cahaya headlamp

Dari sudut mata aku melihat ada bayangan hitam yang berdiri di pohon, tapi waktu aku menoleh tidak ada siapapun. Lalu ada suara bisik-bisik yang jelas sekali, yang tadinya kupikir pendaki yang naik, nyatanya jalur didepan cuma kosong dan gelap tidak ada siapapun. Disini aku berdoa dalam hati mohon perlindungan.

Tiba-tiba Ayu menangis, dia jatuh terduduk, kepalanya disembunyikan di lututnya. Dalam sesenggukannya dia berulangkali menyebut pocong... Pocong .. Pocong
Mendengar itu bulu kudukku berdiri total. Kulihat segala arah dengan panik. Sosok itu tidak ada. Aku membujuk Ayu untuk berjalan lagi, sambil mengingatkan untuk berdoa.

Akhirnya Ayu mau berjalan lagi setelah matanya kututup dengan buff. Dengan cara ini, Ayu tidak lagi histeris, tapi jalan kami jadi luar biasa lambat.

Sepanjang jalan aku masih terus melihat kelebatan-kelebatan hitam. Kadang semak-semak yang bergoyang sendiri. Suara-suara dalam bahasa sunda yang aku ngga ngerti artinya terdengar entah ditelinga entah suara pendaki yang terbawa angin.

Badanku gemetar ketika ada sebuah bayangan diujung jalur, dia jongkok dibawah pohon. Kali ini bayangan itu tidak hilang. Aku istighfar semakin kencang, Ayu memegang tanganku dengan erat. Semakin mendekat, kami akan terpaksa melewatinya karena sosok itu tepat di pinggir jalur.

Nyaliku habis. Aku diam ditempat. Gemetar dan keringetan. Kali ini Ayu sudah memelukku. Dia walau tidak melihat apa-apa tentu merasa ada yang ganjil. Lama aku berdiri berharap sosok itu hilang, sehingga kami bisa lewat. Tapi dia tetap disana.

Tiba-tiba punggungku ada yang menepuk. Seorang pendaki yang sedang turun. Alhamdulillah kami selamat, aku lega. Dia melambaikan tangan mengajakku jalan. Aku langsung bergerak. Sosok itu sudah hilang. Aku mengikuti pendaki ini hingga tiba-tiba dia hilang dikegelapan.
Sebuah suara pelan terdengar, "jalan lurus aja bang, jangan tengok kekiri.

Aku dan Ayu masih terus merayap pelan. Teror nyata bercampur dengan halusinasi membuat mentalku semakin lemah. Sedetik yang lalu aku melihat tangan keluar dari tanah, ternyata hanya akar.
Dalam keadaan ini akhirnya aku ambruk. Suara istighfar pelan masih terdengar dari mulut Ayu.
Aku terbangun saat merasakan air segar di mulutku. Ternyata Ayu menuangkan air agar aku siuman.

Kami mulai berjalan lagi.
Keadaan sekarang berbalik. Aku yang hampir tidak punya tenaga tersisa dipapah oleh Ayu. Kelebatan-kelebatan bayangan masih terlihat diantara pohon. Disuatu tempat aku bahkan melihat kaki yang berayun-ayun. Tak berani memastikan kaki siapa, aku memejamkan mata.

Setelah melewati turunan yang agak tajam, aku melihat dikiri jalur ada tenda. Aku lega bukan main, akhirnya kami selamat. Tiga orang tampak sedang mengelilingi api unggun. Satu orang melihat kami, dia melambaikan tangan.
Aku dengan gembira setengah berteriak ke Ayu. "Yu, kita mampir dulu kesitu. Ngopi, istirahat, besok aja jalan lagi. " Sambil menunjuk ke arah tenda.

Tiba-tiba Ayu menamparku dengan keras sambil berteriak-teriak histeris, "di, sadar di! Istighfar!! Ngga ada apa-apa disitu!! "

Tiga orang itu sekarang semuanya melambai-lambai memanggil. "Itu ada orang Yu, ayo kesana. ngga enak, udah dipanggil-panggil. Ayo Yu... "

Ayu menamparku lebih keras sambil berteriak di kupingku menyuruh istighfar.
Kali ini ketika aku menengok ke kiri ketiga orang itu sudah berjarak satu meter didekatku, sambil nyengir aneh, tiba-tiba kepala ketiganya lepas dan jatuh ketanah. Sambil cekikikan kepala tadi menggelinding ke arahku.

Aku histeris dan langsung lari. Beberapa lama baru aku sadar, aku meninggalkan Ayu dibelakang. Kakiku lemas, jantung berderap kencang. Mau balik menyusul Ayu, aku kelewat takut.

Tapi tak lama kulihat Ayu berjalan turun. Begitu dekat, dia cuma menepukku mengajak jalan lagi. Aku berjalan mengikutinya dibelakang.
Tapi pelan-pelan aku memperlebar jarak dengan Ayu. Terus terang aku ngga yakin, Ayu yang jalan didekatku adalah Ayu temanku. Segala doa aku panjatkan. Ada rasa, menyesal kenapa aku tidak hapal ayat kursi.

Aku berjalan dengan mata menatap ke tanah. Karena di sekitarku penampakan ada di mana-mana. Bahkan sambil mata terpaku ke tanah, aku bisa melihat disebelahku ada kaki kaki yang kulewati. Ada yang kecil, besar. Ada yang hitam. Ada yang memakai kain putih.

Jantungku serasa mau copot ketika Ayu yang berjalan tiga meter didepanku tiba-tiba berlari dan langsung naik ke pohon sambil tertawa cekikikan. Aku langsung putar arah, lari keatas lagi. Tidak jauh aku lihat Ayu bersandar dipohon sambil menangis. Instingku mengatakan ini Ayu yang asli. Tapi begitu kusentuh dia berteriak-teriak histeris.

"PERGI!! PERGI!! "

Dia langsung jatuh lemas saat dia sadar aku yang menyentuhnya.

"Di, ini elu kan? "

Kami dengan badan gemetar dan doa-doa mulai berjalan lagi. Semua penampakan muncul. Ada yang bertengger dipohon, kepala yang menyembul di semak-semak. Bau-bau busuk dan wangi melati yang berganti-ganti.
Aku dan Ayu berusaha tetap berjalan ditengah jalur. Kami sangat takut jika terlalu kiri atau kanan ada tangan yang akan menarik kami ke semak.

Belum lagi suara-suara. Ada suara yang terdengar marah tapi dalam bahasa Sunda, ada yang tertawa cekikikan, ada yang mengucapkan assalamu'alaikum berulang-ulang.

Aku sempat berlindung dibalik pohon ketika melihat kuda lewat tanpa ada penunggangnya.

Kami akhirnya lepas dari hutan dengan susah payah. Tidak pernah terpikir untuk melihat jam berapa. Tapi gangguan masih belum mau melepas kami. Satu dua tangan atau kepala masih muncul dan hilang disudut mata kami.
Lalu suara burung terdengar jelas. Kaok.. Kaok... Kaok...
Entah aku sudah kelewat terbiasa atau sudah pasrah. Aku seratus persen yakin ini pasti burung jadi-jadian.
Lewat diatas kami burung hitam, terbang dengan pelan. Ternyata bukan burung jadi-jadian, ini burung biasa. Aku lega selega-leganya.
Aku mendengar Ayu istighfar pelan, lalu jatuh pingsan. Perasaanku kembali berantakan. Ada apa lagi ini?
Sebelum aku juga pingsan, aku sempat melihat apa yang membuat Ayu tumbang. Dibelakang burung tadi, ada yang terbang mengikuti, sebuah kurung batang.....

Aku terbangun di pos Cibunar. Bingung dan disorientasi. Sampai aku tersadar lagi, kejadian tadi malam bukan mimpi, badanku kembali gemetar. Beberapa orang diruangan itu menyadari aku sudah terbangun, langsung menghampiri. Yang satu memberikanku teh panas manis yang saat kuminum langsung membuatku merasa tenang lagi. Yang satunya duduk disebelahku sambil mengusap-usap punggungku.

“Diminum pelan-pelan aja teh nya Jang.” Kata si Bapak itu.

Aku memperhatikan seluruh ruangan, masih belum yakin kalau aku sudah tertolong.
“Pak, teman saya?” aku menanyakan keberadaan Ayu. Tidak adanya Ayu disitu langsung membuatku terserang panik.
“ada di ruangan sebelah. Tidak apa-apa.”

Aku lalu menceritakan semua kejadian yang kami alami sampai akhirnya kami pingsan. Bapak itu mendengarkan dengan tenang tidak nampak terkejut sama sekali. Asap rokok sesekali mengepul dari bibirnya. Semua yang kuingat kuceritakan, kecuali kejadian Ayu membuang pembalutnya di semak. Selain takut, ada rasa malu karena telah mengotori gunung.

“kunaon bisa sampe begitu?” kata si Bapak,”kejadian gaib memang sering disini, tapi saya teh baru denger yang sampe parah begini.”
“saya juga ngga tahu pak.” Jawab saya berbohong.

Bapak itu menatap lurus ke mataku seperti berusaha membaca, dia lalu bertanya,”punten nya jang, punten, bapak cuma nanya, kalian diatas zinah?”
Aku gelagapan ditanya seperti itu. “Astagfirullah ngga pak. Saya sama Ayu cuma temen. Kita juga bawa tenda masing-masing.”
Bapak itu masih menatapku dengan pandangan tidak yakin.

Tapi memang itu kenyataannya. Aku dan Ayu sepakat untuk tidur ditenda masing-masing. Ayu membawa tenda satu orang yang sering kuejek sebagai tenda orang mati. Dan aku membawa tarp tent yang baru kubeli sebelum berangkat. Kami memang akrab, tapi keakraban kami sama sekali tidak mengarah kearah romantis.

“ya sudah, kamu istirahat dulu sebentar. Nanti ada yang datang bawa lauk dari bawah, kamu langsung makan ya. Diisi perutnya.”kata si Bapak.
Aku mengangguk. “terima kasih pak.”

Bapak itu langsung keluar, menemui beberapa orang yang sejak tadi diam-diam mendengarkan pembicaraan kami. Dari suaranya mungkin ada sekitar empat orang. Tapi aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan karena dalam bahasa sunda. Tapi naik turun intonasi obrolan mereka yang pastinya membicarakan aku dan Ayu membuatku merasa tidak enak.

Jam ditanganku menunujukkan jam 11 siang. Buat orang yang habis-habisan diteror tadi malam, tak terbayangkan gembiranya melihat cahaya matahari.
Aku melihat carrierku dan Ayu ada dipojok ruangan, juga sepatu milik Ayu. Kubuka carrierku mencari handphone dan charger saat kudengar erangan suara Ayu. Suaranya ada diruang sebelah. Bulu kudukku kembali berdiri. Apakah cobaan ini belum selesai?

Aku memberanikan diri melongok ke ruangan sebelah. Hatiku langsung mencelos melihat keadaan Ayu. Satu orang ibu-ibu tua sedang memijit kening Ayu sambil komat-kamit. Tiga orang lainnya memegangi tangan dan kakinya. Ayu sendiri sedang berontak hebat berusaha melepaskan diri. Badannya dilentingkan keatas kebawah dengan brutal, kakinya berusaha menendang orang yang memeganginya. Matanya merah melotot hingga nyaris keluar. Ketika dia melihatku, ayu tertawa mendesis mirip ular lalu berteriak histeris.

Aku shock melihat keadaan Ayu. Hingga Cuma bisa beridiri ditempat. Bapak tadi lalu menarikku, dan kembali menyuruhku meminum air teh tadi.
“Jangan kesitu jang, disini aja.” Kata si Bapak.
“temen saya pak….” Kataku tanpa bisa meneruskan kalimat.
“Sebentar lagi ngga apa-apa. Udah disini aja.”

Aku diam. Tanganku yang memegang gelas teh gemetar pelan. Tiba-tiba aku teringat dengan meeting bulanan. Pekerjaan yang memaksaku untuk terus turun walau ada keinginan untuk ngecamp semalam lagi. Terlambat sudah. Aku membayangkan muka murka atasanku atas ketidakhadiranku. Laporan-laporan yang harus kuserahkan, wajah kecewa rekan-rekanku. Aku mendesah.

“Pak, kira-kira sore temen saya udah normal belum yak? Bis arah Jakarta sampe malem kan ya Pak? Saya hari selasa harus sudah ngantor pak.” Tanyaku pada si Bapak.
Si bapak menjawab ringan, tapi bagai petir di telingaku,”sekarang teh hari rabu jang.”

Astagfirullah.aku pingsan tiga hari??

Tidak lama ibu tua tadi keluar. Dia berjalan lemah menghampiri kerumunan orang didepan. Disitu aku memperhatikan keriput tangannya. Ibu ini sudah tua sekali, mungkin usianya hampir tujuh puluh tahun. Disitu dia berbicara pelan, yang lain mendengarkan. Pada suatu kalimat beberapa orang tampak terkejut, lalu mengangguk-angguk tanda mengerti.

Bapak tadi lalu menghampiriku. “Jang, kita turun duluan ya. Kamu bapak bonceng. Temen kamu nanti nyusul turun. Soalnya motornya cuma satu.”
Aku tidak bisa tidak selain setuju. Ketika akan mengangkat carrier, si bapak melarang. “udah disitu aja, biar nanti ada yang nurunin. Hayuk jang.” Kata si Bapak, ada sedikit nada memaksa.

Benar diluar ada motor yang diparkir. Si bapak naik kemotor dan menyalakannya. Aku lalu naik dibelakang. Tapi ketika digas motor itu tiba-tiba mati.
Aku turun lagi karena si bapak tampaknya akan menyela motor. Sekali sela dan hidup. Aku naik lagi. Tapi ketika digas motor itu mati lagi.
Dua orang lalu menghampiri kami. Yang seorang menggantikan si bapak dan menyalakan motor. Motor itu kembali menyala. Dia lalu berjalan lima meteran lalu berputar lagi. Tapi kembali mati ketika aku naik ke motor.

Akumerasa tampaknya penghuni Ceremai tidak akan mau melepaskan kami dengan mudah.

Akhinya jam 4 sore si bapak itu memanggilku masuk. Didalam ada si ibu tua sudah menunggu. Ibu itu mengatakan sesuatu kepada si bapak yang mendengarkan dengan menunduk menatap lantai. Ibu ini pastinya tidak bisa berbahasa Indonesia.

“Jang, si emak udah berusaha tapi setan yang masuk ketubuh temen si ujang ada banyak. Dikeluarin satu, yang lain masuk. Begitu terus. Dan ada satu makhluk yang emak sendiri ngga bisa ngeluarin. Bentuknya ular hideung bertanduk.”

Aku mendengarkan dengan khawatir, intonasi si bapak mengisyaratkan ada kabar yang lebih buruk.

“Makhluk itu dendam sama temen si Ujang, karena temen si Ujang udah lancang ngotorin rumahnya ceunah. Jadi temen si Ujang mau diambil, mau dikawinin. “

Sekarang aku benar-benar panik. “pak tolong pak, bilangin saya minta maaf, tolong pak, bu tolong bu…” aku meratap.

“iya Jang, tenang. Kata si emak, makhluk ini juga ngga jahat. Dia maklum dengan kalakuan manusia pendaki ayeuna, tapi kelakuan temen Ujang udah keterlaluan.”

Ada sedikit perasaan lega mendengar ucapan si bapak barusan.

“dia akan ngelepas temen si Ujang, tapi ada syaratnya.” Sambung si bapak.

“apa syaratnya pak?” tanyaku khawatir.

“Ujang malam ini harus naik, dan ambil lagi kotoran yang kemarin dibuang temen si Ujang.”

Seluruh sendi ditubuhku langsung bergetar mendengar syarat barusan...

Aku yang belum tentu setahun sekali melaksanakan sholat, magrib itu sholat dengan khusuk. Setelahnya aku berdoa hingga menitikkan air mata mohon perlindungan Allah. Sehabis berdoa, si Bapak yang mengimami ku sholat magrib berbalik kearahku.

"Jang, nanti habis sholat Isya langsung berangkat. Ngga usah takut, bismillah aja. Doa jangan putus nya? "

Aku cuma diam dan mengangguk.

"Setan apa aja ngga bisa nyelakain kalo Ujang inget Gusti Allah. Cuma Allah sebaik-baiknya pelindung. " Sambung si Bapak lagi.

Setelah Isya. Aku mengisi carrierku dengan dua botol air mineral. Ku cek lagi headlamp juga senter. Semua siap.
Ku tengok sekali lagi keadaan Ayu. Dia sedang tertidur, dan masih ditemani si ibu tua. Ibu itu tersenyum kepadaku seperti memberi restu.
Diluar aku sudah ditunggu si Bapak. Aku mencium tangannya sekaligus minta dibantu doa.

Lalu si Bapak memberikanku sebuah bungkusan dari kain putih. Aku bertanya, "apa ini pak? "
"Bungkusan ini isinya tanah. Nanti tanah ini kamu sebar di gubuk belakang Condong Amis ya. Kainnya kamu bawa. Nanti kalo ketemu yang kamu cari, kain ini buat bungkusnya. "

Sekali lagi aku mengangguk. Lalu dengan menarik nafas dalam, aku berangkat.

Seekor burung berkaok-kaok entah dimana mengikuti setiap langkahku. Satu-satunya penerangan hanya cahaya senter yang kurahkan ketanah. Aku sengaja memfokuskan pandangan ke langkah kakiku. Semakin jauh kuberjalan, bayangan horror malam itu kian menjadi nyata. Tapi tiap kali bayangan itu muncul segera kutepis jauh-jauh walau sia-sia.

Aku berhenti dibatas ladang. Didepanku sekarang membentang hutan pinus. Aura mistis menjalar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, aku melangkah.

Tiba-tiba aku mencium bau busuk yang sangat pekat. Bulu kudukku langsung berdiri. Cahaya senter bergoyang akibat tanganku yang gemetar hebat. Aku tetap memaksa untuk maju walau pelan. Setiap kali aku ingin berbalik dan lari aku selalu diingatkan sosok Ayu yang sedang tertidur saat tadi kutinggal.

Bau busuk itu hilang, berganti bau melati. Sumber baunya begitu dekat, seakan-akan tepat dibelakangku. Bulu diseluruh tubuhku meremang membayangkan sosok apa dibelakang. Aku menunggu tangan sedingin es menyentuh tengkukku. Aku istighfar dan berjalan makin cepat.
Dalam situasi seperti ini tiba-tiba aku teringat legenda Nini Pelet yang konon berkeliaran diantara pohon-pohon pinus diwilayah ini diwaktu malam. Juga sosok Nyai Kembang, pengantin wanita yang mati saat tengah mengandung dan mayatnya dibangkitkan. Pikiran tentang Nyai Kembang dengan wajah pucatnya menyeringai dibelakangku cukup membuatku langsung berlari panik.

Entah berapa lama aku lari tanpa mempedulikan jalan yang mulai menanjak. Bayangan Nyai Kembang yang menyeringai sungguh menerorku. Hingga akhirnya aku tersungkur karena kakiku terkait akar pohon melintang. Sekitarku bukan lagi hutan pinus, melainkan pohon pohon tua raksasa. Di depanku jauh keatas nampak sebuah bangunan gubuk kayu. Dari posisiku saat ini bayangan gelap bangunan itu yang diselimuti kabut tipis seakan memberikan peringatan untuk jangan coba-coba berani mendekat. Dengan ragu kusenteri bangunan kosong itu. Mungkin ini yang dimaksud gubuk condong amis yang dimaksud si Bapak.

Pelan dan ragu aku mendekati bangunan ditengah hutan ini. Sosok gelap bangunan ini saja sudah cukup mengintimidasiku. Pohon-pohon hitam disekitarnya dengan ranting kurus yang dalam pikiranku bagaikan tangan orang mati menjuntai disana sini.

Aku berhenti sepuluh meter didepannya, menyorot-nyoroti cahaya senterku kesetiap pojok ruangan. Lega setelah tidak ada sosok apapun yang bersembunyi dikegelapan.

Tanganku merogoh kantung celana dan mengambil bungkusan putih berisi tanah. Warna putih kain itu langsung membuatku bergidik ngeri. Kubuka ikatannya, lalu kutuangkan tanah didalamnya ke tanganku. Kutarik nafas langsung kuberlari kebelakang pondokan ini lalu secepatnya kusebar tanah tadi sesuai permintaan si Bapak. Aku sengaja melakukannya dengan cepat, karena ngeri membayangkan apa yang ada dibelakang pondokan itu.

Tiba-tiba muncul sebuah wajah putih menyembul diantara semak, matanya membelalak lebar tepat didepanku. Aku langsung jatuh duduk sambil berteriak-teriak histeris.

Ketika aku memberanikan diri membuka mata, sosok itu berdiri disana. Bertolak pinggang.
Aku masih dalam keadaan jatuh terduduk. Shock.
Sosok itu mengeluarkan suara yang anehnya terdengar normal.

"Apa-apaan wey! "

Aku langsung menguasai diri. Sosok ini ternyata manusia biasa. Pendaki! Aku masih bengong tak percaya melihat manusia normal berdiri dihadapanku. Sosok itu bicara lagi, kali ini tangannya menunjuk ke kolong gubuk.

"Apa-apaan. Mie gua jadi ga bisa dimakan wey! "

Aku terpana. Mataku bolak balik melihat sosok itu dan mie yang baru direbus diatas kompor portable kotak. Benar mie itu sudah bercampur tanah merah yang tadi kulempar.

Ketika makin tenang, baru aku menyadari sosok itu memang manusia biasa yang memakai kemeja lapangan warna hitam, celana pdl dan sepatu running.
Kulihat sekali lagi, sepatu runningnya menapak ke tanah. Dia benar manusia.

Dia menggamit tanganku dan menolongku berdiri. Aku ditatap dari atas ke bawah ke atas lagi.

"Apa-apaan barusan? " Katanya lagi.

"Eh, anu, maaf bang. Saya beneran ngga tau ada orang disini. " Aku meminta maaf.

"Naik berapa orang? " Tanyanya lagi.

"Sendiri." Jawabku.

Sekarang aku bisa melihat dengan jelas orang ini. Tingginya sama denganku. Usianya mungkin menjelang 50 tahun tapi sosoknya nampak lebih muda. Cahaya memantul dari kacamata bulatnya. matanya penuh selidik memandangku.

"Ngga dianjurkan jalan malam sendiri di Ciremai. " Katanya, "emang dapet ijin naik tadi dibawah. "

"Iya bang. Dapet. " Jawabku, sengaja tidak terus terang alasanku naik.

"Ya udah, istirahat dulu aja. Mau mie? Gw masak dulu. Yang tadi harus dibuang gara-gara lu. "

Barulah aku sekarang melihat dengan jelas. Dibelakang gubuk ini dia menggelar matras. Carrier besar berdiri menyandar di tiang kayu.

"Siapa nama lu? Dari mana? " Katanya sambil menyalakan api dikompor.

"Saya Adi bang. Dari Jakarta. Kalo abang? " Jawabku.

Sambil tetap membelakangiku, sibuk dengan kompornya dia menjawab
"Gw Moka. "

Aku sama sekali tak peduli dia darimana. Aku sangat bersyukur bukan hanya aku sendiri di gunung ini. Rasa aman dan tenang menguasai dadaku.

Setelah mie matang. Dia mengeluarkan mangkok plastik dari carriernya. Menuang sebagian mie itu untuk kumakan. Sedang dia sendiri memakan mie tadi langsung dari misting.

Sambil makan dia terus-terusan memperhatikanku. Setelahnya dia mengeluarkan rokok kretek dari kantong bajunya, lalu menghisapnya dalam.

"Jadi lu orangnya ya.. " Katanya, seakan berbicara pada diri sendiri.

"Gimana bang maksudnya? " Tanyaku, tak yakin arah pertanyaannya.

Dia memandangku dengan tatapan kesal. "Kalian tuh semua pendaki sama aja. Bisanya cuma ngotorin gunung. Ngga punya rasa hormat. "

Aku terperangah "abang udah tau ya.. "

"Mak Ncep nitipin lu ke gua. Dia yang cerita semua. Mulai dari sini sampe atas lu bareng gw. " Katanya lagi

"Mak Ncep? Mak Ncep siapa bang? " Tanyaku bingung.

"Bocah emang ngga ada hormat-hormatnya sama orang tua. Mak Ncep yang dari kemarin nolongin lu sama temen lu. Kalo ngga ada Mak Ncep, temen cewe lu pasti udah lewat dibawa ke alam lain. " Jawabnya ketus.

Rupanya ibu tua yang terus-terusan menjaga Ayu di Cibunar itu namanya Mak Ncep. Aku memang sama sekali tidak bertanya nama Ibu tua itu, juga bapak yang menjagaku. Ada rasa menyesal menyadari betapa kurangnya sopan santunku pada orang yang sudah beberapa hari ini menolongku dan Ayu.

"Mak Ncep juga yang ngejagain lu ngelewatin hutan pinus. Makanya lu bisa aman sampe sini. Kalo ngga lu bisa dimakan setan penganten tadi. "

"Tapi saya jalan sendiri tadi bang. Mak Ncep? Setan penganten? " Aku bertanya bingung.

Tapi dia tidak menjawab. Dia cuma tersenyum sinis sambil membereskan carriernya.
Aku bergidik mengingat rasa dingin yang menjalari tengkukku tadi. Mungkin setan penganten itu tadi benar-benar ada dibelakangku.

Selesai packing carrier, dia berjongkok dan berkata serius.

"Mulai dari sini perjalanan kita ngga akan gampang. Lu cukup ngikutin gw. Baca doa-doa yang lu tau. Pikiran jangan kosong. "

"I.. Iya bang." Jawabku.

"Kita bakal disambut semua penghuni Ciremai. Dari yang bentuknya abstrak sampe solid. Dari yang nyaru jadi manusia sampe yang mukanya berantakan. Siapin mental lu. Kalo lu ngga selamat disini, temen lu dibawah juga ngga bakal selamat. "

"Iya bang. " Jawabku lagi.

"Lu inget dua ini : kalo tiba-tiba muncul suara gending gamelan. Apapun yang terjadi kita harus diam. Jangan bergerak. Paham lu? "

"I.. Iya bang. Yang keduanya apa bang? "

"Lu bakal ngeliat banyak penampakan nanti. Tapi ada satu penampakan yang paling berbahaya. Penampakan Kalong wewe! "

"I.. Itu yang gimana bang? Terus saya harus gimana kalo ada gituan? " Pikiranku langsung kalut.

"Kalong wewe itu bentuknya perempuan telanjang. Rambutnya awut-awutan. Lehernya miring kayak patah, lidahnya ngejulur keluar. Tetenya panjang ngegantung sampe ke paha.

Aku menelan ludah membayangkan sosok itu.

" Kalo dia muncul. Lu harus pura-pura ngga liat. Apapun yang dia lakukan walau mukanya nempel dimuka lu, lu harus pura-pura ngga liat. Kalo ngga... "

"Kalo ngga gimana bang... "

"Kalo dia sampe tau lu bisa liat dia. Lu bakal ditarik keatas pohon, artinya lu ditarik ke alamnya. Dan lu ga bakal bisa balik lagi."

"I.. I... Iya bang. " Badanku mulai gemetar.

"Yah doa aja makhluk itu ngga muncul. Susah nolong orang yang udah diculik Kalong wewe. Lu harus waspada kalo lu nyium bau khasnya. kalo bau itu muncul, kemunculannya dijamin pasti. "

"Bau apa bang? " Tanya ku.

"Bau pandan."
Aku melirik ngeri ke tanjakan yang akan kami lalui. Kabut tebal mengambang diujung tanjakan itu seakan gerbang masuk menuju dunia antah berantah.
Orang ini memanggul carriernya dan langsung berjalan. Sambil mengucap Bismillah aku juga berjalan dibelakangnya.

Masuk kedalam kabut. Aura mistis langsung membekapku. Suasana kelewat hening. Tidak ada satu pun suara binatang malam. Yang terdengar hanya suara langkah kaki dan nafasku yang semakin berat. Tapi kehadiran orang ini sungguh membuat banyak perbedaan dibanding awal jalan tadi di Cibunar. Sekarang aku mulai berani melihat sekeliling.
Kegelapan bagai selimut dihutan ini. Pekat dan mencekik. Pohon pohon tinggi dan kurus mencuat di mana-mana. Satu dua bayangan pohon besar raksasa muncul diantara tirai kabut. Dan semak semakin meninggi.

Tiba-tiba orang itu berhenti mendadak. Dia lalu bicara tanpa menoleh ke arahku, "pikiran jangan kosong. Mulai baca-baca."
Dari jauh kulihat sesuatu bergerak mendekat dengan cepat. Kabut putih bergulung-gulung menabrak kami . Selama sedetik aku bahkan tak bisa melihat tanganku sendiri. Kabut itu hilang dalam sekejap,diikuti rasa dingin seakan memelukku. Tubuhku mulai menggigil.

Orang itu masih berdiri diam ditempatnya. Aku langsung melihat apa yang membuatnya tak bergerak. Seekor kelabang sebesar paha orang dewasa.

Makhluk itu merayap pelan, melintang menghalangi jalur. Buku-buku badannya hitam mengkilat. Sulur dikepalanya bergerak-gerak liar.
Aku diam mematung berharap makhluk itu segera hilang. Alih-alih menjauh, kelabang itu malah merayap mendekat. Sulur dikepalanya baru menyentuh betisku ketika tiba-tiba orang itu mengeluarkan parang dan membelah kelabang itu menjadi dua. Sebelah badannya menggelepar liar di tanah, sementara yang sebelah justru merayap ke pahaku. Aku berteriak sejadinya sambil mengibaskan kaki.
Dengan tak acuh orang itu menarik sisa tubuh kelabang dari tubuhku, dibanting nya ke tanah lalu dibuang ke tengah semak.

Dengan muka sebal dia melirikku dari balik kacamata bundarnya,
"malem masih panjang boy, " Katanya sambil berjalan meninggalkanku.

Nafasku hampir habis mengikuti irama jalannya. Walau menggendong carrier segunung tapi langkahnya tampak ringan. Ada sebuah pin menempel di carrier nya, tapi aku tak berhasil membaca tulisannya.

Dia mencolek bahuku dan menunjuk keatas. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk dan seketika tubuhku bagai tersengat listrik. Di dahan pohon yang paling tinggi nampak sosok perempuan. Kakinya menjuntai ke bawah.

"Kuntilanak." Katanya sambil nyengir.

Kakiku kembali gemetar. Rasanya tak ada tenaga sedikitpun untuk bergerak sekuat apapun kuberusaha. Bukan cuma ada satu, tapi dua. Seketika aku menyadari, sosok itu ada disetiap cabang pohon. Jumlahnya puluhan. Menggantung disana sini.
Hanya diam, tak bergerak, tak bersuara.

"Bang.. Tolong. " Bahkan suara yang keluar dari mulutku pun bergetar.

Dia malah tertawa melihatku bersimbah keringat. Dia menggamit lenganku dan mengajakku jalan.

"Cuma begitu aja mereka itu, ngga bisa lebih. Kuntilanak ngga akan nyekek lu apalagi gigit. Bisanya cuma nongol, berharap manusia yang diganggu mentalnya lemah kayak lu. "

Terus terang aku takjub dengan abang ini. Bicara miring tentang hantu tanpa rasa takut sama sekali.

Jalan semakin keatas, penampakan muncul di mana-mana. Beberapa bahkan tepat di pinggir jalur. Bukan hanya Kuntilanak, tapi juga banyak wujud lain. Beberapa wujud muncul dalam keadaan tidak utuh. Ada yang tanpa kepala, ada yang tidak punya rahang, ada yang kepalanya terbelah.
Beberapa yang lain muncul dengan organ tubuh yang tidak pada tempatnya.

"Semakin aneh bentuknya, menandakan rendahnya level mereka di dunianya. Yang bisa mereka lakukan cuma muncul dan hilang, muncul dan hilang, begitu terus. Kalo lu takut dengan godaan makhluk level rendah ini, itu menandakan rendahnya level iman lu boy. " Ucap orang itu tenang.

"Sebaliknya, semakin sempurna bentuknya. Menandakan semakin tinggi levelnya. Makhluk-mahkluk model begini yang wajib diwaspadai. Bukan cuma bentuknya, tapi juga pakaian, tingkah laku dan tutur katanya. Setan-setan yang paling baik adalah setan-setan yang paling berbahaya boy. " Sambung orang itu, "kadang makin sulit membedakan manusia dengan setan. "

Dari belakang kulihat dia menyalakan rokok. Asapnya terlihat mengebul tipis. Bahkan dia bisa berjalan sambil merokok, pikirku. Stamina orang ini luar biasa. Kuntilanak yang berdiri terlalu dekat dijalur disembur dengan asap rokoknya, dan menghilang.

"Dari dulu di gunung ini sudah tidak terhitung banyaknya pendaki yang hilang. Tiap generasi ngga pernah kekurangan orang-orang ngga punya etika kayak lu dan temen lu." Orang itu ngomel sendiri, "nyampah, zinah, berisik, ngomong sembarangan, nantang-nantang. "

Di sebuah persimpangan kami berhenti. Jalan disebelah kanan tampak sudah lama tidak lewati. Bebatuannya berlumut, tanda jarang diinjak orang. Jalan yang sebelah kiri terbuka lebar, jalurnya tampak jelas sering dilalui.

"Kalo lu terpaksa sendiri, jalan mana yang lu pilih? " Tanya orang itu padaku.

"Kiri." Jawabku dengan cepat.

"Lu mati " Kata orang itu, "jalan sebelah kiri ini ngga pernah ada. Dibalik semak-semak ini cuma jurang. Kuburan buat banyak pendaki. "

Aku terkesiap ketika menyadari kami tidak berhenti dipersimpangan. Jalur sebelah kiri yang tadi kulihat, sekarang berubah menjadi semak belukar.

Kami meneruskan jalan. Semakin keatas, penampakan semakin menjadi. Mereka juga semakin berani. Sebuah bayangan hitam menabrak ku dan lewat begitu saja, dan meninggalkan bau amis darah. Bayangan lain meloncat-loncat dari pohon ke pohon. Nafas-nafas berat, kadang menggeram sering kali terdengar. Suara cekikikan, tangisan, suara-suara bayi dan ringkik kuda.

Bau-bauan muncul dan hilang silih berganti. Bau busuk bangkai tercium dari bawah pohon tumbang, digantikan harum melati. Sesekali bau anyir darah menyergap.

Orang itu tiba-tiba berhenti mendadak dan memberikanku aba-aba untuk diam.
Semua bau-bauan itu hilang mendadak, digantikan bau yang asing. Aku mencoba mengingat-ingat pernah mencium bau ini entah dimana.

Bulu kudukku langsung meremang saat kesadaran menyergapku.
Ini bau pandan...
...... kalong wewe........Jantungku bergemuruh kencang ketika bau pandan tersebut kian mendekat. Kakiku bagai tertancap ditanah. Mataku bergerak liar mencari sosok yang bahkan abang ini pun merasa lebih baik menghindar.

Dan jantungku serasa dicabut. Sosok itu tepat berada diatasku. Wajahnya tertutup rambutnya yang acak-acakan. Tangannya yang penuh koreng dan bernanah menjuntai.

Semakin kuat usahaku untuk diam, tubuhku semakin gemetar tak terkendali. Aku lalu menutup mata dan berusaha membayangkan apapun sekedar untuk menghilangkan bayangan Kalong wewe itu dari benakku. Aku membayangkan suasana kantor, keriuhan saat makan siang atau macetnya lalulintas di jam pulang kantor. Sekejap aku berhasil menenangkan riuh jantungku, gemetar diseluruh tubuhku mulai berkurang, ketika tiba-tiba suara berdebum jatuh tepat dibelakangku.

Usahaku barusan langsung sia-sia, tubuhku gemetar hebat, bahkan lebih dibanding sebelumnya. aku seratus persen yakin, Kalong Wewe itu tepat berada dibelakangku. Punggungku serasa panas. Beban carrier yang kubawa kurasakan kian bertambah berat.

Sebuah tangan muncul dari belakang. Berkoreng dan berbau busuk. Kukunya yang panjang dan hitam mulai menyentuh pipiku.
Dititik ini aku bahkan sudah tak sanggup lagi menutup mata. Aku hanya bisa menatap ngeri ketika jari-jari kurus itu bergerak perlahan membelai pipiku..

Dan hilang.

Jari-jari itu hilang begitu saja. Tapi aku masih tidak berani bergerak. Firasatku mengatakan makhluk menjijikkan itu masih ada disekitar, aku hanya tak tahu dia ada dimana ketika tiba-tiba aku melihat hal yang paling mengerikan sepanjang hidupku.

Sebuah tangan mencengkeram pinggang ku dari bawah. Tangan yang satunya bergerak perlahan menggores perut, naik ke dada hingga akhirnya mencengkeram bahuku. Dan perlahan sebuah wajah yang mengerikan muncul diantara dua tangan itu. Matanya menatap kosong ke mataku. Hanya mata kosong itu yang tersisa diwajahnya. Seluruh wajahnya hancur dan bernanah. Dahinya penuh borok-borok besar yang siap meletuskan darah dan nanah kapan saja.

Wajah itu terus naik, matanya tetap terpaku ke mataku. Pelan dan pasti dia merayap di perutku, naik ke dadaku, leher dan langsung tepat berada di wajahku. Mata bulat besar itu terus saja lekat menatapku, semakin dekat.

Mataku menatap ngeri ketika mulutnya terbuka menampakkan belatung-belatung yang menggeliat didalamnya. Mulut itu kian membuka lebar dan semakin lebar, seluruh wajah itu sekarang adalah mulut yang menganga, tangannya mencekik leherku, mulut itu semakin mendekat dan mendekat!!

......

Yang pertama kulihat ketika siuman adalah wajah orang itu. Tubuhku lemas, tidak sanggup untuk digerakkan. Seluruh tulang serasa lepas dan kepalaku terasa nyeri. Ada rasa sakit disekitar leherku. Ketika aku menyentuhnya, tampak noda darah dijariku.
Tubuhku langsung mengejang, kakiku tersentak saat ingatanku kembali pulih menghadirkan kembali saat kuku-kuku hitam Kalong wewe itu menusuk leherku.

"Udah tenang! Jangan panik! Setan sialan itu udah ngga ada." Kata orang itu sambil membantuku minum teh hangat.
Mendengar itu aku kembali tenang. Tapi rasa sakit disekitar leherku masih terasa panas. Bekas hitam di leherku kelak tidak akan hilang selama berminggu-minggu.

"Terima kasih bang." Suaraku terdengar lirih. Tapi aku sungguh-sungguh berterima kasih. Tanpa kehadirannya entah bagaimana nasibku dan Ayu.

"Bukan gue." Jawabnya pelan, sambil membereskan kompor bekas memasak air panas. Suaranya terdengar lemah.

Aku masih memandanginya, menunggu jawaban. Merasa diperhatikan, dia menghentikan aktivitasnya dan menatap serius padaku.

"Berterimakasih sama Nyi Linggi." Dia berucap.

Aku masih menatapnya. Bingung bagaimana bereaksi. "Nyi Linggi siapa bang?' tanyaku.

Dia tampak kesal dengan pertanyaanku.
" Emang kalian bocah ngga tau adat. Nyi Linggi itu orang yang rumahnya di Batu Lingga kalian kotorin!"

Aku masih tetap bingung dengan jawaban-jawabannya. "Ta.. tapi orang kan bang?" tanyaku lagi.

Dia mendekat dan berbisik pelan ditelingaku, "penguasa Ciremai."

...........

Kami kembali berjalan. Semakin keatas hutan semakin rapat. Pohon-pohon besar berdiri angker disegala penjuru.
Sosok-sosok Kuntilanak masih muncul disana sini, walau tidak sebanyak tadi. Sebagai gantinya banyak penampakan-penampakan baru berupa sosok-sosok menyerupai manusia biasa. Tidak ada aura mengancam dari sosok-sosok itu, yang terasa justru aura penderitaan. Sosok itu menyebar di banyak tempat, tiduran di jalur, dibawah pohon, ada yang menangis sesenggukan diantara semak-semak. Semua sosok itu adalah laki-laki. Wajahnya tampak seperti wajah orang desa biasa. Disuatu tempat, aku bahkan harus berjalan zigzag agar tidak menginjak orang-orang ini.

Aku mengenali tempat ini. Sebentar lagi diatas adalah tempat aku dan Ayu mendirikan tenda pada malam pertama saat mendaki. Dan benar saja, tidak lama kami mendapati lahan agak terbuka. Disana kulihat ada satu tenda yang berdiri. Ada sebuah penanda berwarna kuning di pohon yang bertuliskan: Kuburan Kuda.

Wajahku sumringah melihat kehadiran orang lain di gunung ini. Dua orang pendaki yang sedang sibuk memasak. Satu orang lainnya tampak duduk dimulut tenda, kakinya menjorok keluar, memperhatikan rekannya yang sedang sibuk.

Tapi aku juga melihat penampakan sosok lain. Disekitar mereka hantu-hantu berwujud orang desa ada di mana-mana. Sebagian besar berkerumun disekitar pendaki yang sedang memasak. Wajah-wajah sendu itu memperhatikan seorang pendaki yang sedang mencicipi kuah mie. Mereka tampak kelaparan.

Aku sudah bersiap akan menyapa pendaki-pendaki ini ketika orang itu mencolek ku dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sekarang ini mereka ngga bisa melihat kita." Katanya.

Aku terperangah mendengarnya. Apakah aku sudah jadi hantu?

"Kita dan mereka ada di tempat yang sama, tapi berbeda dimensi." Sambung orang itu lagi. "Percuma nyapa, mereka ngga akan dengar."

Aku lalu menunjuk sosok-sosok hantu kurus berwujud orang desa itu, meminta penjelasan.

"Mereka tadinya orang kampung biasa dikaki gunung. Mereka dibawa kesini untuk kerja romusha di jaman Jepang. Disiksa, kelaparan dan akhirnya dieksekusi. Mayatnya dibuang didaerah ini."

Aku iba mendengar masa lalu pahit yang harus hantu-hantu ini alami.

Orang itu menggamit lenganku, mengajakku kembali meneruskan perjalanan. Aku mengangguk, lalu mulai melangkah. Ada rasa sedih harus berpisah dengan pendaki-pendaki ini. Bagiku mereka adalah simbol kehidupan biasa. Tenang dan tanpa konflik. Sementara aku harus pergi menuju kerajaan gaib gunung Ciremai. Keceriaan mereka adalah keceriaanku dan Ayu beberapa malam yang lalu. Semoga mereka tidak mengikuti kesalahan kami.

Perhatianku teralih oleh suara gemerisik disemak-semak di kanan dan kiriku. Sesekali terlihat kelebatan sesuatu yang berjalan mengiringi langkah kami. Kadang terdengar nafas berat.

Aku mencolek orang itu, "bang... Bang... "

Dia malah menepis tanganku, dan mengisyaratkan agar terus berjalan. Tapi aku tak bisa menepis rasa takut dan keingintahuan. Hingga terus-terusan mencolek tangannya.

Dia yang akhirnya merasa terganggu akhirnya berhenti. "Bawel banget lu sumpah." Makinya. "Sini gw jelasin biar diem."

Dia menyelipkan rokok dibibirnya, membakar dan menghisapnya dalam.

"Ngga pernah ada yang bisa jelasin bentuk Kalong wewe. Tadi gw bilang, kebanyakan orang yang diculik Kalong wewe jarang balik, betul?" Tanyanya sambil menghembuskan asap rokok.

Aku mengangguk.

"Sebagian ada yang bisa ditolong walau susah. Tapi mereka ngga kembali utuh. Siapapun yang sudah ditetein Kalong wewe udah ngga akan bisa ngomong lagi." Dia melanjutkan, "Kalong wewe ngga akan membiarkan orang lolos dan nyeritain bentuknya yang menjijikkan ke orang lain.''

Sampai sini aku mulai gemetar lagi membayangkan bentuk Kalong wewe yang sungguh menjijikkan tadi.

"Kalong wewe itu masih ngikutin kita sampe sekarang." Jelasnya lagi, "Dia ngga akan ngelepas lu boy, tapi dia ngga bisa mendekat karena sejak kejadian tadi, kita dijaga di kanan kiri sama makhluk lain."

"Apaan bang?"tanyaku.

Dia menghembuskan asap rokoknya ke wajahku. Suaranya terdengar sedikit gemetar dan sedih. Dia berkata pelan, " Harimau."

'Ternyata ada juga makhluk gaib yang baik sama manusia ya bang." Kataku.

Dia tersenyum kecut. "Baik bukan pilihan kata yang tepat boy.'' dia kembali menghisap rokoknya,

" Terus bang?" Aku bertanya menyelidik.

"Buat ganti penjagaannya, ada sesuatu yang nanti harus dikorbanin."
Next.........>>>>>>>part 2