Selamat Dari Teror di Gunung Slamet Part 2

Ahmad Sidik

Angkernya jalur Dukuh Liwung Part2

Author: Nina Fitriana


Hari semakin gelap, hawa dingin mulai menyeruak masuk kedalam sela-sela jaket kami. Cahaya bulan redup, terhalang rimbunnya Pohon yang seolah-olah mengamati kami sejak awal. Syukurlah, ternyata kami telah sampai di Pos dua, ada sedikit tanah lapang, kami bisa beristirahat lebih leluasa sekarang, meluruskan kaki, dan mengeluarkan camilan dari dalam tas kami.

Namun karena hari sudah semakin gelap, Pak Sakri meminta kami agar tidak berlama-lama di Pos ini. Entahlah, nada suaranya lebih seperti ingin mengatakan bahwa memang tidak baik berlama-lama di Pos ini. Tapi saya tidak menghiraukan itu, dan tidak pula ingin bertanya lebih jauh, karena hari memang sudah sangat gelap, dan tubuh ini pun sudah minta istirahat, jadi yang terbaik memang kami harus bergegas melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di Pos 3 dan bermalam disana.

Perjalanan pun dimulai kembali, Asep dan Usep masih bertahan di posisi depan, diikuti oleh Widi dan saya, lalu Fahmi, Bang Epps, dan Panji. Jalur yang kami lalui masih sama, jalan setapak yang hampir tak terlihat karena dipenuhi tumbuhan liar.

‘WukWukWuk’ terdengar seperti suara burung, namun tidak ada yang melintas diatas kami, suaranya sangat dekat dan jelas. Dengan santai saya bertanya ke pada Pak Sakri. “Burung apa Pak”?. Tanya ku. “Ssst..udah jangan di dengerin, jangan lihat-lihat keatas” Jawab Pak Sakri pelan. Mendengar jawaban itu justru malah membuat kami semakin penasaran. “Emang apa Pak?.” Tanya teman kami yang lain. “Gak apa-apa”. Jawab Pak Sakri singkat. Sejenak kami terdiam, hawa mistis kini lebih terasa menyelimuti setiap sudut hutan ini. Kami merasa ada kehadiran makhluk lain disini, dan kami sadar sejak tadi kami tidak sendiri.

“Wukwukwuk”.. bunyi itu terdengar lagi. Kali ini Pak Sakri berpindah posisi dari belakang ke depan. Kini tinggal Bang Eps dan Panji berada paling belakang saling bergantian. “Saya pindah ke depan.” Ujarnya, sambil bergegas jalan ke depan, Bang Epss dan Panji sudah pasti ber uji nyali dibelakang sana. “Kenapa Pak?.” Tanya ku. “Ga apa-apa” jawabnya. “Sudah lanjut jalan, jangan berhenti, biar cepat sampai Pos 3 kita bisa cepet bangun tenda disana, terus tidur.” Sambung Pak Sakri.

Tapi karena kami penasaran, dan pastinya sangat ingin tau ada apa sebenarnya, kami sedikit memaksa Pak Sakri untuk memberitahu suara apa itu. Dengan nada suara yang seolah-olah dibuat agar terdengar biasa, Pak Sakri akhirnya memberi tahu kami suara apa itu sebenarnya. “Itu adalah suara Kuntilanak lelaki, biasanya merupakan demit jejadian dari manusia-manusia penganut ilmu hitam.” Ujarnya. “Hah? Yang bener Pak?”. Tanya ku. “Iya tapi jangan takut, baca-baca doa aja, pikiran jangan kosong insyaallah ga diganggu.” Jawab Pak Sakri menenangkan.

Disinilah saya baru tahu, bahwa kuntilanak itu ada laki-laki dan ada juga yang perempuan, kuntilanak laki-laki katanya lebih jahat dari pada yang perempuan, tapi apapun itu tetap saja, bagi saya mereka menyeramkan.

Kuntilanak itu kini mengikuti sepanjang perjalanan kami, walau saya tidak melihatnya, tapi saya dapat merasakan bahwa kuntilanak tersebut mengamati kami sejak tadi. Entah kesalahan apalagi yang kami perbuat kali ini, sehingga harus diikuti makhluk jadi-jadian seperti ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, kami belum juga sampai di Pos 3, perjalanan terasa sangat lambat, padahal kami terhitung jarang sekali berhenti semenjak kaki Panji sudah kembali pulih tadi. Suara kuntilanak itu timbul dan tenggelam, tapi pasti ada disekililing kami, mengiringi perjalanan kami disepanjang malam ini.

Tiba disebuah tanah lapang yang tidak begitu besar, sudah tertancap dua tenda disana. Ini pasti Pos 3, akhirnya kami menemui pendaki lain di gunung ini, dimana semenjak awal perjalanan, tidak ada satu pun pendaki lain bepapasan dengan kami.

“Alhamdulillaahh..sampai juga.” Ucap teman-teman kami seraya meluruskan kaki yang sejak tadi minta berhenti. Tidak terasa hampir 8 jam perjalanan kami hanya dari basecamp sampai di Pos 3 ini. Jalur yang kami lewati sebenarnya tidak terlalu terjal, tapi tidak pula landai, hanya saja terlalu penuh semak belukar.

Dua tenda yang sudah terpasang milik pendaki lain ini, terlihat begitu sepi, tanda penghuni di dalamnya sudah beristirahat dalam lelap. Namun ada yang ganjil dengan dua tenda ini, terdengar suara lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda, mungkin berasal dari salah satu Hp milik pendaki di dalamnya.

Suara riuh kami, mungkin membangunkan salah satu penghuni tenda tersebut. Samar-samar saya mendengar Panji dan rekan lainnya yang sudah sampai lebih dulu, berbincang dengan pendaki itu. “Ada yang kesurupan tadi, temennya yang perempuan”. Jelas Panji seraya berjalan kearah kami, dimana Saya, Fahmi dan Widi baru saja tiba di Pos ini “Kapan?.” Tanya ku.
“Barusan katanya, sebelum kita datang.” Jelas nya.

Oh..itulah sebabnya mengapa mereka membunyikan lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda. Tapi sepengalaman kami, hal itu hanya akan membuat penghuni lain disini makin marah, karena mereka terasa ditantang, dan diusik keberadaannya.

Tak lama, kami bergegas mencari lahan bagian datar yang kira-kira dapat kami jadikan tempat bermalam, namun karena terlalu sempit dan hanya menyisakan tanah kosong sedikit yang posisi nya agak miring, terpaksa kami membangun tenda disana.

Setelah 2 tenda terpasang rapih, Pak Sakri yang sejak tadi berdiri disamping tempat kami mendirikan tenda, mengamati ke arah pohon tepat dari mana arah kami datang tadi. ”Masih ada ya Pak?”. Tanya Panji. Panji dan Bang Eps terlihat bolak-balik berkerumun mendekati Pak Sakri. “Itu dipohon itu, lagi liatin kesini.” Jawab Pak Sakri santai sambil meniupkan asap rokoknya. “Apaan sih Nji?,” tanya ku. “Kuntilanak!” Jawabnya singkat. Tidak mau memperpanjang pembicaraan saya langsung menenggelamkan diri bergabung dengan Widi yang sedang memanaskan air, bersama Fahmi, Asep dan Usep serta Bang Eps yang sejak tadi mondar mandir tidak jelas.

“Tuh masih ada Kuntilanak nya, tuh bunyinya masih kedengeran.” Ucap Panji seraya mendatangi kami semua, bunyi wukwukwuk kembali terdengar. Kami hanya saling curi pandang, tidak bisa banyak komentar, takut salah ucap, malah bisa jadi sasaran. Sudahlah jangan dihiraukan, pikirku. Lalu kami melanjutkan memanaskan air, dan menyiapkan beberapa gelas untuk menyeduh kopi dan teh.

Setelah selesai memanaskan air dan membuat teh dan kopi untuk sedikit menghangatkan badan, kami melakukan Sholat isya dan meng qada sholat maghrib. Setelahnya kami bergegas masuk ke tenda, beristirahat, karena kami harus melanjutkan perjalanan kembali esok pagi.

Ketika saya dan yang lain sudah berada didalam tenda, Pak Sakri dan Panji sepertinya masih berbincang diluar. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya pembahasan menganai Kaki Panji yang terasa sakit tadi. Ternyata menurut Pak Sakri, kaki Panji ditumpangi tiga makhluk halus penunggu tempat dimana Panji buang air kecil.

Akhirnya kami pun terlelap dalam dingin dan gelap nya malam gunung ini. Bintang tidak lagi tampak, tertutup gelapnya malam dan rimbunnya pohon hutan ini. Malam ini, kami semua beristirahat, dibawah redupnya cahaya bulan. Di dalam keremangan tenda, dengan tetap ditemani sosok jadi jadian, yang sejak tadi seolah enggan pergi meninggalkan kami sendirian di hutan ini. Mereka tetap setia mengamati dari balik pohon, tempat mereka bersembunyi..

“Emang lo ga bilang permisi?” tanya ku pada Panji pagi itu. Kini hari telah berganti, cahaya bulan yang redup semalam sudah berubah menjadi terangnya sinar matahari. Sosok jadi jadian pun entah kemana, mungkin kini mereka telah pergi. “Enggak sih Na, tapi gua udah bilang Asslamualaikum.” Mendengar jawaban itu saya pun bingung, harus berkomentar apa. Sejenak saya berpikir, ‘iya, apa salahnya, kan sudah mengucap salam’. Tapi mungkin memang tetap dianggap tidak sopan, ibaratnya kita main kerumah orang lain, hanya mengucap salam, lalu pergi ke kamar mandi tanpa bilang permisi, pastinya sangat tidak sopan. Tapi sudahlah, semoga hal ini tidak terulang lagi, dan bisa jadi pembelajaran kami kedepannya.

Setelah sarapan dan memastikan perbekalan air yang cukup, kami mulai berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Pendaki lain yang semalam bersama kami, sudah lebih dulu melanjutkan pendakian mereka.

“Okeghhh.. siap ya? ber doa dulu, semoga disehat selamatkan perjalanan kita dipendakian kali ini, kita bisa kembali kerumah masing-masing dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kekurangan suatu apapun, ber doa dimulai.” Ucap Fahmi memimpin doa pagi ini. “Aamiin!!” seru kami, seraya benar-benar memohon perlindungan Allah SWT.

Kami pun memulai kembali pendakian ini. Kali ini jalurnya sedikit berbeda kami tidak lagi melewati hutan belantara, dengan pohon-pohon besar menjulang tinggi dan akar-akar yang saling berkait di ujungnya. Jalur yang kami lewati sekarang sedikit menurun, landai namun tidak lama menanjak kembali. Tidak ada yang aneh dalam perjalanan kami pagi ini, cuaca cerah, matahari bersinar dengan indahnya menembus celah-celah daun yang kini sudah tidak terlalu rapat. Ya, sepertinya kami telah lepas dari hutan rimba, kini jalur yang kami lewati sudah terlihat normal seperti jalur pendakian pada umumnya.

Pendakian dari Pos 3 ke Pos 4 berjalan lancar, begitu pun sampai Pos 5. Sesekali kami menjumpai kelompok pendaki lain, tidak banyak memang, tidak sesering seperti pendakian-pendakian kami sebelumnya, yang setiap saat pasti saja berpapasan dengan pendaki lain, bahkan bisa juga sampai terjadi kemacetan.

Entah kenapa, kami baru bertemu dengan mereka selepas dari Pos tiga ini, sedangkan dari basecamp sampai Pos tiga tidak ada satupun pendaki lain yang kami temui, kecuali di tempat kami bermalam. Singkat cerita, ternyata jalur dari Pos tiga sampai atas merupakan titik pertemuan dari beberapa jalur lain. Saya lupa pastinya jalur apa saja itu, yang pasti para pendaki lain itu, berasal dari sana.

Pak Sakri, yang semula dijadwalkan hanya akan menemani kami sampai Pos dua, tentu saja tidak kami ijinkan pulang. Mengingat kejadian-kejadian yang kami alami, kami sudah pasti membutuhkan beliau untuk menemani kami kembali sampai kami turun dari gunung ini.

***

Tibalah kami di Pos Bayangan. Sebuah tanah datar yang tidak terlalu luas, ada beberapa pohon yang dapat kita gunakan untuk bersandar. Pos bayangan ini adalah Pos sebelum kami benar-benar sampai di Pos terakhir jalur ini, yaitu Pos 5. Ketika kami sampai ada beberapa pendaki lain yang juga sedang istirahat disana.

Seperti sudah saling mengerti ketika kami datang dan memberi salam, mereka bergegas bersiap melanjutkan pendakian mereka. Mungkin mereka paham, bahwa tempat ini terlalu sempit jika dihuni kami semua secara bersamaan, jika dirasa cukup waktu mereka beristirahat, maka mereka akan memberikan kesempatan pada pendaki lain untuk bergantian.

Kami langsung mengambil posisi masing-masing, ada yang bersandar di pohon, ada yang bersandar di carriel tanpa melepasnya. “Aaaahhhhhh.” Seru kami hampir kompak, sambil meregangkan otot-otot punggung dan kaki yang pastinya sudah bekerja paling keras sejak awal pendakian ini.

Makanan-makanan kecil pun kami keluarkan. Madu berbentuk stik agar mudah dihisap, dan sedikit coklat dan roti untuk mengganjal perut kami yang mulai keroncongan. Ah seandainya kami punya cukup waktu, ingin rasa nya mengeluarkan nesting dan memasak Mie Instan. Tapi sudah lah, Pos 5 yang merupakan pos terakhir jalur ini, sepertinya sudah tidak jauh lagi. Lagi pula hari sudah mulai sore, langit terlihat agak mendung, sepertinya akan turun hujan, lebih baik bergegas agar kami segera sampai atas sebelum hujan benar-benar turun.

Setelah istirahat dirasa cukup, dan tak lupa meneguk sedikit air untuk melepas dahaga, kami melanjutkan perjalanan ini. Baru saja memulai perjalanan, Panji tiba-tiba saja tersungkur. Tapi kali ini bukan karena mahkluk ghaib atau sejenisnya, sepertinya Panji memang kelelahan. “Hayati lelah Bang!” ucapnya seraya bangkit dari jatuhnya. Gelak tawa pecah seketika, bukan karena kami tak simpati tapi memang jatuhnya lucu sekali. Fahmi dan Bang Epps membantunya berdiri, karena bobot tubuh Panji yang besar, membuat mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menariknya.

Akhirnya, sekitar pukul tiga sore, kami sampai di Pos terakhir. Kami akan bermalam disini, untuk selanjutnya, menaiki puncak esok pagi. Sudah ada dua tenda disana, tenda pendaki lain yang pastinya sudah lebih dahulu sampai ditempat ini.

Tidak pakai istirahat, kami langsung berbagi tugas. Ada yang mendirikan tenda, ada yang menyiapkan bahan makanan untuk kami makan sore ini. Setelah tenda terpasang, nesting dikeluarkan, bahan masakan disiapkan, kami pun mulai memasak. Sayur Sop yang sudah dibersihkan dari rumah dibungkus rapih dengan plastik pembungkus sehingga masih sangat segar ketika dimasak untuk kami makan, telor balado, ikan asin dan bakwan menjadi hidangan kami sore ini. Hhmmm..lezat, apalagi dinikmati diketinggian setelah aktivitas yang sangat menguras tenaga.

Kalau ada yang tanya, kenapa tidak ada Mie Instan?. Tentu saja ada, tapi itu pilihan terakhir jika kami kehabisan bahan makanan, dan hanya memiliki sedikit waktu untuk memasak. Kadang kami berprinsip, pemenuhan gizi saat pendakian itu jauh lebih penting, walaupun makan Mie Instan hangat diketinggian yang dingin ini tentu saja sangat nikmat.

Saya, Widi dan Bang Epps kebagian memasak sore ini. Yang lain menggunakan waktu istirahatnya sambil menikmati indahnya pemandangan dari atas sini. Fahmi dan Usep berfoto-foto di Goa yang berada tidak jauh dari tenda kami. Pak Sakri tentu saja sedang menikmati me-time nya dengan bersandar sambil ditemani rokok favoritenya.

Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 5 sore, makanan pun sudah terhidang dan siap disantap. Seperti biasa dalam hitungan menit makanan sudah raib tak tersisa, tangan-tangan lapar bagai anacconda bergerak cepat, siap memangsa musuh nya, langsung masuk ke dalam perut mereka.

“Alhamdulillaaahh.. kenyang!.” Kata yang pastinya terucap dari mulut kami semua. Momen makan bersama ini merupakan salah satu saat yang paling nikmat ketika kita melakukan pendakian. Sesi makan pun usai, kini waktunya kami bersiap untuk melaksanakan Sholat maghrib. Cuaca yang semula mendung, kini tampak kembali normal, langit mulai memerah, matahari hampir kembali ke peraduannya.

Sambil menunggu waktu maghrib tiba, Fahmi menunjukkan hasil foto-foto yang diambilnya bersama Usep tadi. Tidak ada yang tampak aneh diawal, sampai suatu foto yang sedikit mencuri perhatian kami. Dalam foto terlihat seperti wanita berambut panjang, namun samar-samar dan wajahnya nya pun tidak kelihatan. Padahal foto itu diambil fahmi di dalam goa yang tentu saja tidak ada siapa-siapa disana. Tidak mau memperpanjang situasi mengingat kami masih berada digunung ini, akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan foto itu.

Waktu maghrib pun tiba, kami masuk ke tenda bersiap-siap menunaikan sholat. Usai menunaikan sholat maghrib, sambil menunggu waktu isya kami membuat kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh kami dari dinginnya malam yang mulai menusuk-nusuk sampai ke tulang.

Setelah menunaikan sholat isya, dan membersihkan diri dari sisa-sisa keringat hari ini, kami mencoba menikmati indahnya malam ini. Langit mulai gelap, bintang mulai menampakkan kecantikannya, namun keindahan itu tidak bisa lama kami nikmati. Angin dingin yang menembus jaket tebal kami, memaksa kami untuk segera mencari kehangatan di dalam tenda.

Widi tiba-tiba saja berbisik. “Mpok, kayaknya gua dapet dah.” Ucapnya. “Hah! Serius? Coba cek!” jawab ku. Kami bergegas ke dalam tenda.“Bener Mpok.” Deg hati ini mencelos seketika. Melihat wajah Widi, hati nya pasti kacau, karena artinya Ia tidak dapat ikut mendaki puncak besok pagi, padahal Ia sudah sejauh ini. “Yaudah ga apa-apa, bawa pembalut kan?” tanya ku. Widi meng angguk lesu, terlihat kecewa dan panik terpancar dari wajah nya.

Perbincangan kami sepertinya terdengar sampai tenda sebelah, terdengar riuh mereka berkata. “Hah, Widi dapet? Terus bagaimana?.” Entah lah, selain Widi tidak bisa ikut mendaki puncak, bagaimana yang mereka maksud pasti tentang bungkusan putih berisi kemenyan yang diberikan si Mbah sesaat sebelum kami mendaki gunung ini.

Dengan Widi mendapatkan haid hari pertamanya di atas sini, itu artinya kami harus melakukan ritual bakar kemenyan yang diperintahkan si Mbah sebelum kami kembali turun ke Bawah. Namun tentu saja hati kami tidak semudah itu menerimanya, karena kami semua tahu perbuatan itu bertentangan dengan tauhid. Kini kami dihadapkan pada pilihan, apakah kami harus membakarnya dan melakukan ritual tersebut atau ada cara lain agar kami tetap selamat saat kembali turun dari gunung ini…

Bersambung..Part 3.

Share This Artikel