Author: Nina Fitriana
Disadur Dari Kejadian Nyata; Angkernya Jalur Dukuh Riwung Part1
Saya Nina, ini kisah kami, saya dan beberapa rekan yang kebetulan dulunya adalah teman satu kantor, kecuali Asep. Kisah ini diawali ketika kami berencana menghabiskan libur akhir tahun, untuk sejenak melepas kejenuhan dari rutinitas pekerjaan yang mulai membuat kami bosan, terutama menghadapi kemacetan ibu kota.
Waktu itu Desember 2015, tiba lah hari dimana kami memutuskan untuk mendaki gunung Slamet yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah. Rencana awal kami akan naik melalui pintu masuk pemandian air panas Gucci, tapi entah kenapa, pagi itu, ketika kami sampai, mobil elf yang kami tumpangi diminta untuk berputar arah, yang kami sendiri tidak tahu diarahkan kemana.
Setelah berputar, dan bertanya sana sini, kami diarahkan ke sebuah desa, desa yang menurut saya cukup rapih namun terkesan sepi, karena sepanjang jalan, kami hanya menemui beberapa penduduk desa saja.
Sampai lah kami di ujung jalan desa ini, kami memarkirkan mobil yang kami sewa, disebuah tanah lapang yang sepertinya sebuah kebun milik warga. Kami sempat kebingungan, karena ketika kami turun kami tidak melihat pos pendaftaran seperti yang terdapat pada jalur resmi pada umumnya. Yang terlihat hanya rumah-rumah penduduk saja, yang sepi seperti tak berpenghuni. Sempat beberapa lama kami hanya terdiam karena tidak tahu harus kemana, tidak ada orang atau penduduk desa yang bisa kami tanya.
Supir yang mengantar kami pun bingung, karena sepertinya ini juga kali pertama mereka mengantar pendakian lewat jalur ini. Setelah mencoba mencari-cari informasi, syukurlah tak berapa lama, kami langsung diarahkan ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat kami memarkirkan mobil, kami langsung bergegas mengemasi barang-barang.
Tibalah kami disebuah rumah berwarna biru muda yang sudah samar warna cat nya, “Dukuh Liwung” itu pertama kali yang kami baca, sebuah papan nama tertancap diatas atap depan rumah ini. Jujur saya pribadi tidak mengenal jalur ini, maklum saya ini bukan pendaki professional, hanya hobi menikmati alam. Panji, teman kami yang pertama kali memberitahukan kami, bahwa jalur yang akan kami lewati ini adalah Jalur Pendakian Legenda, dimana Soe Hok Gie menempuh jalur yang sama ketika mendaki gunung ini. Mungkin Panji pun baru mencarinya di google mengenai jalur ini.
Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke sebuah rumah yang ternyata milik Juru Kunci Gunung ini. Panggil saja si Mbah, sosok lelaki tua, kurus namun terlihat masih sangat sehat di usianya yang pastinya sudah tidak muda lagi. Beliau duduk bersila diatas lantai rumah yang masih berbalut acian semen halus khas rumah desa. Dengan senyum nya si mbah menyambut kedatangan kami, yang hanya satu-satunya tamu dirumah ini pada hari itu..
Kami ber 7, 5 laki-laki dan 2 perempuan, saya dan teman saya Widi. Setelah dipersilahkan masuk, dan kami bersalaman dengan si Mbah, kami pun turut duduk bersila bersama si Mbah yang mulai melemparkan pertanyaan pada kami satu persatu dari mana kami berasal. Setelah berkenalan, si Mbah langsung bercerita pengalaman pengalaman beliau selama menjadi penjaga gunung ini. Terutama pengalaman dalam menolong pendaki-pendaki nakal nan sompral yang banyak tersesat bahkan hilang digunung ini.
Deg-degan tapi kami tetap menyimak cerita demi cerita yang dituturkan si Mbah. Mulai dari yang hilang berhari-hari sampai yang tidak bisa diselamatkan. Kami tau tujuan beliau menceritakan itu semua bukan untuk menakuti-nakuti kami, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar tidak berlaku seenaknya di gunung ini, atau ditempat lain dimanapun kami berada.
Sekilas pasti terlihat ketakutan diwajah kami yang tidak menyangka bahwa kami akan melewati jalur ini, tau namanya saja tidak, ah ga pernah kepikiran kami benar-benar seperti disesatkan. Tapi si mbah coba menenangkan namun suaranya terdengar berat, sehingga kami tahu, bahwa sejujurnya jalur ini memang angker untuk dilewati.
Setelah cerita panjang lebar, dan meneguk teh hangat yang disediakan oleh istri si mbah,dan suasana sudah mencair dari cerita-cerita horror yang dituturkan sebelumnya, pertanyaan terakhir si mbah adalah siapa diantara saya dan Widi yang sedang Haid? Atau waktu haid nya sudah dekat?, sempat saling lirik, namun Alhamdulillah saya baru selesai masa itu, tapi tidak dengan Widi, sepertinya dia akan haid dalam waktu dekat.
Si Mbah lalu memberikan kami sebuah bungkusan berbalut kain putih, berisikan kemenyan. Kami sempat bingung, lalu si Mbah menjelaskan bahwa, kalau diatas nanti salah satu diantara kami datang bulan, mohon jangan ikut muncak, agar berdiam diri saja ditenda, dan sebelum turun, kami diperintahkan untuk membakar kemenyan tersebut dan meraupkan asap nya ke wajah kami masing-masing, bukan hanya saya dan Widi, tapi kami ber tujuh. Tujuannya adalah agar kami tidak disesatkan oleh penghuni gunung ini, ketika perjalanan pulang nanti. Saling curi pandang tak terelakkan dari wajah kami, tapi kami pun tidak mungkin menolaknya. Akhirnya kami memutuskan tetap membawa bungkusan kain putih itu bersama kami menaiki gunung ini.
Waktu sudah menunjukkan sore hari
Kami bergegas mengemasi barang kami untuk melakukan pendakian. Nantinya kami akan ditemani oleh Pak Sakri penduduk asli Desa ini dan masih satu keluarga dengan si Mbah. Sebelumnya kami sebenarnya tidak berniat memakai jasa porter atau sejenisnya, karena kami tidak pernah melakukan itu dipendakian-pendakian kami sebelumnya, namun dari cerita si Mbah, si mbah menyarankan agar kami ditemani anaknya minimal sampai Pos 2, karena jalur ini masih jarang dilewati dan banyak sekali jalur bercabang yang bisa membuat kami bingung dan bisa jadi membuat kami tersesat. Akhirnya kami setuju, karena kami pun tidak mau ambil resiko jika yang dikatakan si mbah adalah benar adanya.
Akhirnya setelah selesai berkemas dan berpamitan pada si Mbah dan keluarganya, seperti biasa tidak lupa pula kami memanjatkan doa mohon keselamatan kepada Allah SWT untuk pendakian kami kali ini, setelahnya barulah kami mulai menapaki jalur pendakian legenda ini.
Awal perjalanan kami disambut kebun-kebun warga, yang tertata rapih khas pedesaan. Melalui tanah lapang dimana ada tugu batas desa ini disana. Lalu kami disambut kebun Karet yang pohonnya menjulang tinggi berjejer rapih seolah mengucapkan selamat datang pada kami semua.
Selepas melewati kebun karet, kembali kami menemui perkebunan warga, dan disanalah kami menemui Pak Sakri untuk pertama kali nya. Pak Sakri seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, usianya mungkin kurang lebih 40 tahun, tubuhnya kurus namun berotot khas penduduk desa yang suka bekerja keras. Pekerjaan hari-hari beliau adalah berkebun, sama seperti penduduk lain desa ini.
Setelah berkenalan dan berbincang sebentar, kami menunggu Pak Sakri bersiap-siap. Pak Sakri sebenarnya bukan porter yang seharusnya menemani kami, tapi anak Mbah yang satunya yang mengantarkan kami bertemu Pak Sakri ini lah yang seharusnya menemani kami sampai Pos 2, namun karena satu dan lain hal, akhirnya Pak Sakri menggantikan posisinya.
***
Perjalanan dimulai kembali dengan Pak Sakri membuka pembatas kebun yang
terbuat dari pagar bambu agar kami bisa melewati jalur pendakian ini.
Dengan ini jelas mamastikan bahwa jalur ini bukan jalur pendakian umum
biasa, namun hanya orang-orang tertentu yang tau keberadaan jalur ini
saja yang melewatinya.
Awal memasuki jalur ini kami disambut
oleh pohon-pohon besar nan tinggi dengan akar2 besar bergelantung disana
sini menjadi pemandangan alam yang asri namun kesan angker tak bisa
dipungkiri. Jalur ini lebih terlihat seperti hutan rimba daripada jalur
pendakian gunung pada umumnya. Jalan setapaknya sudah banyak tertutup
pepohonan dan agak licin tanda jarang dilewati.
Namun karena hari
masih sore dan matahari bersinar dengan cantiknya menembus celah-celah
pepohonan yang kian gagah tertancap di setiap sudut hutan ini, tetap
menyajikan pemandangan yang indah dimata kami.
Tidak terasa, sejuknya udara, indahnya pemandangan itu, mengantarkan kami yang tanpa sadar sudah sampai di Pos pertama jalur pendakian ini, ada sedikit tanah lapang disana. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak menikmati segarnya udara dan sejuknya cuaca sore itu.
Disela-sela istirahat, Saya dan Widi menggunakan kesempatan itu untuk buang air kecil, seperti biasa kami pun mencari celah dibalik pepohonan, dan tidak lupa untuk bilang permisi karena bagaimanapun kami adalah tamu ditempat ini.
Setelah menemukan tempat yang pas, saya dan Widi berjaga bergantian. Saya lebih dulu baru Widi. Teman kami yang lain pun turut melakukan hal yang sama, istirahat sejenak sambil mencari celah pohon untuk buang air kecil. Panji salah satunya, awalnya tidak ada yang aneh dengan kegiatan kami, karena hal ini umum dilakukan para pendaki lain. Namun sungguh kami tidak pernah menyangka, istirahat pertama kami ini lah ternyata awal mula yang menyebabkan kejadian kejadian aneh nan mistis selama pendakian kami, dimulai...
Teror demi Teror di mulai..
Selepas membersihkan diri setelah buang air kecil, kami duduk-duduk di batang pohon mati, dibawah bedeng non permanen yang terbuat dari batang pohon kecil dan plastik putih yang sudah lusuh dan bolong disana sini, buatan pendaki terdahulu sepertinya. Terlihat ada bekas bakar-bakaran yang menyisakan warna hangus ditanah dengan beberapa sampah kecil yang terlihat sudah sangat lama ditinggalkan disana.
Ketika kami sedang asik beristirahat seraya meluruskan kaki kami, mengendorkan otot yang tegang, kami disibukkan dengan banyaknya pacet atau lintah yang menempel pada kaki kami, tidak cuma dikaki tapi juga dipunggung teman kami, syukurlah saya tidak kebagian dalam drama ini.
Gelak tawa tak terelakan melihat tingkah sesama team kami yang kegelian melihat lintah menempel ditubuh mereka. Mereka memutar-mutarkan badan seraya mencari dimana lagi lintah-lintah itu menempel, ada yang masih kecil ada yang sudah menjadi sangat gemuk tanda lintah itu sudah cukup lama berada disana dan menghisap banyak darah.
Ketika ingin melanjutkan perjalanan, sayup-sayup terdengar adzan maghrib berkumandang. Akhirnya kami memutuskan menunda perjalanan kami sejenak dan melanjutkan setelah adzan maghrib selesai.
***
Perjalanan menuju POS 2 pun dimulai, masih dengan pemandangan yang sama, pohon-pohon besar dengan akar-akar yang kekar tertancap gagah di hutan belantara ini. Sekilas mirip hutan di pinggiran sungai Amazon atau atau di film Anaconda, benar-benar liar. Ukuran batang pohonnya mungkin cukup jika dipeluk oleh dua orang dewasa atau bahkan lebih.
Hari sudah mulai gelap, tidak ada yang aneh dengan perjalanan kami sejauh ini, sampai pada suatu titk, Panji teman kami mengeluh sakit pada kaki kanan nya.
“Break!, brenti dulu, kaki gue sakit”. Ucapnya.
“Kenapa Nji?” tanyaku.
“Ga tau tiba-tiba sakit banget”.
“Yaudah istirahat dulu nanti baru kita lanjut lagi”. Seru teman yang lainnya.
Kami beristirahat dijalur, karena memang tidak ada tanah lapang disana, hanya jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sambil berdiri kami mencoba mengatur nafas masing-masing, berharap sakit kaki Panji cepat mereda.
Panji berusaha menenangkan kaki nya, yang seolah tiba-tiba mogok tidak mau berjalan. Dibantu oleh Bang Epps dan rekan lainnya. Setelah memastikan bahwa kaki Panji baik-baik saja, dan istirahat cukup, kami memutuskan melanjutkan perjalanan, namun dengan tempo yang lebih lambat.
Seiring berjalan makin lama kaki Panji makin terasa sakit dan berat, hingga akhirnya memaksa kami harus berhenti kembali, padahal baru beberapa saat berjalan. Kali ini Pak Sakri coba membalurkan cream peregang otot pada kaki Panji, yang sebelumnya pun sudah dilakukan teman kami yang lain, namun seperti tidak ada hasilnya. Kaki Panji tetap terasa sakit.
Dengan pertimbangan hari yang kian gelap, dan persediaan Headlamp beberapa dari kami tiba-tiba tidak berfungsi, padahal sebelumnya baik-baik saja, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, itu artinya kurang lebih 4 jam sudah kami berjalan, waktu yang cukup lama dengan jarak yang belum seberapa ini.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, dimana disana terdapat tanah lapang, jadi kami bisa beristirahat dengan lebih leluasa. Namun, tidak lama, lagi-lagi Panji berhenti, sepertinya, kaki kanannya sudah benar-benar tidak bisa diajak berdamai. “Break! Tolong berhenti!”. Seru Panji lagi. Saya dan Widi karena wanita berjalan ditengah, Usep dan Asep berjalan paling depan, dan langsung menghentikan langkah kami. Kami kembali beristirahat dijalur, namun kali ini saya memilih duduk sambil meluruskan kaki, begitu juga dengan teman-teman yang lain, hanya Panji yang masih berdiri dengan memegangi batang pohon yang digunakan untuk membantu nya berjalan.
“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh,,”. Tiba-tiba suara Panji terdengar. Kami semua terdiam. “Nama saya Panji,,”. Lanjutnya. “Saya mohon maaf kalau mungkin ada salah kata dan perbuatan saya, kalau tadi saya buang air kecil tidak bilang permisi, saya mohon maaf, saya tidak ada maksud apapun, saya tidak ada maksud mengganggu atau bersikap kurang sopan, saya mohon maaf.” Ujarnya.
Kami terkejut dengan ucapan Panji tersebut, yang tiba-tiba saja meminta maaf pada entah siapa. Semua mendengarkan dengan wajah bertanya-tanya, namun tidak bisa pula diklarifikasi dalam keadaan sekarang. Akhirnya tak butuh waktu lama, setelah mengucapkan kata-kata itu, kaki Panji tiba-tiba saja pulih, tidak terasa sakit sedikit pun. “Ga tau kenapa, kaki gue sekarang tiba-tiba gak sakit lagi, gak berat lagi,”. Jelas Panji. Saling pandang antara kami dengan wajah penuh tanya tentu saja tak ter elakkan lagi. Antara lega karena artinya kami bisa melanjutkan perjalanan namun juga bingung, apa yang terjadi sebenarnya.
Dengan hati yang masih penuh tanya, kami pun melanjutkan perjalanan, kejadian barusan mengingatkan kami pada cerita-cerita Mbah Kuncen. ‘Ah sudahlah semoga tidak semengerikan itu’. Ucap saya dalam hati. Insyallah tujuan kami baik, tidak ingin merusak apalagi bersikap tidak sopan di gunung ini.
Langkah kami sekarang lebih cepat, karena Panji sudah bisa berjalan normal. Sembuhnya kaki Panji tadi mudah-mudahan menjadi akhir rintangan perjalanan ini, dan dimudahkan untuk perjalanan selanjutnya sampai kami pulang kerumah masing-masing dengan sehat dan selamat, itu doa saya. Namun pengkabulan doa, memang tidak secepat itu. Kejadian demi kejadian aneh yang kami alami selepas perjalanan dari istirahat barusan, datang silih berganti. Kini ditengah perjalanan menuju Pos berikutnya, kami kembali disambut oleh penunggu lain gunung ini…
Segera....Bersambung...Part 2