Selamat Dari Teror di Gunung Slamet Part 3. The End

Ahmad Sidik


Kuntilanak itu sepertinya terus mengamati kami, namun seperti tidak ingin ambil pusing, kami tidak menghiraukannya. Biarlah selama makhluk itu diam saja, kami sepertinya tidak perlu khawatir. Kurang dari 10 menit kami berada di Pos ini.

Pak Sakri meminta kami bergegas karena perjalanan masih jauh. Kembali menapaki jalur, masih dengan posisi yang sama, Asep, Usep Widi, Saya, Fahmi, Bang Epps dan Panji Serta Pak Sakri berada di posisi paling belakang. Tak berapa lama Pak Sakri lagi-lagi berbiacara sendiri, kali ini, saya melihat kepanikan diwajahnya. “Sana!, tuh ambil tuh, saya ga butuh!.” Ucap Pak Sakri seraya melemparkan sesuatu. Kini saya tidak ingin banyak bertanya, pura-pura tidak tahu seperti nya tindakan paling bijak saat ini.

“Ga usah ikut-ikut, tuh ambil sana, saya ga butuh!” Seru nya lagi. Pak Sakri terlihat marah pada seseorang namun lagi-lagi entah siapa. Walau terlihat marah, raut khawatir tak terelakkan dari wajahnya. “Ambil tuh kemenyan! kemenyan begitu doang aja.” Tambahnya sambil kembali melemparkan sesuatu. Kami tidak bertanya, namun sepertinya Pak Sakri paham bahwa kami ingin tahu, ada apa sebenarnya. Kenapa dari sebelum Pos 2 sampai kami melewatinya, Pak Sakri bertingkah seperti ini?. “Itu, ngikutin, gara-gara kemenyan saya bawa pulang.” Jelasnya. Entah makhluk apa yang dimaksud Pak Sakri yang mengikuti kami saat ini, yang pasti setelah mendengar itu, kini doa-doa tak putus dari mulut kami.

Tak berapa lama, setelah Pak Sakri reda dari amarah dan lemparan kemenyan, kini Pak Sakri kembali disibukkan oleh makhluk lain. “Saya pindah ke depan!” Ucapnya tiba-tiba. Spontan raut wajah panik terlihat dari wajah Panji dan Bang Epps karena artinya sekarang mereka lah yang berada di posisi paling belakang. “Ada anak kecil di atas tas Widi.” Bisik Panji. Sedikit tercengang, saya berjalan tepat di belakang Widi tapi saya tidak melihat siapa-siapa disana, entahlah kini saya sendiri bingung, perasaan seperti apa yang saya rasakan, panik mungkin tapi selama makhluk itu tak terlihat saya sepertinya masih cukup tenang.

Pak Sakri berlalu ke depan, dengan membawa sebatang pohon kecil yang digunakan untuk menopang sekaligus membuka jalan, karena memang jalur ini sangat penuh dengan semak belukar. Perpindahan posisi Pak Sakri bertujuan untuk menjaga agar sesuatu hal tidak terjadi pada Widi yang kini sedang dalam keadan Haid yang memang sangat disukai oleh para mahkluk ghaib.

Kami berjalan, kini tanpa bicara sedikit pun, kecuali ada hal yang benar-benar penting. Bayang-bayang sosok anak kecil yang berada diatas tas Widi, tidak saya hiraukan lagi. Gelapnya malam ini, membuat keadaan kian mencakam. Jalur yang kami lalui masih sama, jalan setapak, yang kanan kirinya penuh pepohonan dan semak belukar.

Ditengah keheningan, tiba-tiba saya mendengar suara gemerisik dari semak-semak. Ternyata benar, ada sesuatu disana. Makhluk kerdil mirip Smeagol di film Lord of The Rings melompat –lompat di samping kami. Ia asik melompat ke kanan dan ke kiri bermain-main di semak-semak yang seolah menjadi area bermain baginya.

Makhluk apa lagi ini?? Gumam ku dalam hati. Kini mata ku tak sanggup lagi melihat kedepan, hanya menunduk dan melihat langkah kaki ini saja yang bisa saya lakukan. Namun, mata manusia biasa ini tetap saja dapat melihat makhluk kerdil itu, sesekali makhluk itu berhenti tepat di pinggir jalur yang pastinya akan kami lewati. Mata ini terpejam ketika sosok kerdil itu terlihat mematung menunggu kedatangan kami. Doa tak putus dari mulut ini seraya memohon keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Pikiran saya berkecamuk, bagaimana kalau makhluk kerdil itu, tiba-tiba saja melompat kepada kami? atau menarik lengan ini ketika melintas dihadapannya? Jarak saya dengan makhluk kerdil tersebut tidak lebih dari satu jengkal.

Saya melewatinya, syukurlah tidak terjadi apa-apa, makhluk itu tetap terdiam disana, dan kembali melompat di semak-semak. Seperti tidak mau pergi makhluk kerdil itu terus membuntuti kami hingga pada suatu titik kami terhenti. ‘kHihihihihihihi’…Sebuah suara mengagetkan kami, terdengar sangat jelas, dekat sekali seperti ada dihadapan kami.

Kami menengadah, mencari sumber suara itu, namun hanya kekosongan yang kami dapat. Bisik-bisik diantara kami, “Suara apa itu?” Usep mendengarnya seperti suara domba, namun terdengar juga seperti suara ringkik kuda sedangkan saya sendiri mengira itu tawa kuntilanak. Sejenak kami saling pandang, kami tahu, kami memiliki pertanyaan yang sama. Makhluk apalagi yang kami hadapi sekarang?. Manusia kerdil yang tadi mengikuti kami, sudah tidak ada lagi, kini kami dihadapkan oleh makhluk ghaib yang lain.

Tak sadar kami terpaku cukup lama, Usep menyadarkan kami, dengan teriakannya, memberi tahu, di depan kami adalah pos 1. “Gaeesssss.. di depan Pos 1!!” Mendengar itu kami bergegas, sambil tetap membawa sekelumit pertanyaan dalam hati, tentang apa yang terjadi di sini, namun tahan, kami masih disini, tunggu sampai kami menjauh dari tempat ini.

Tanah lapang yang tidak begitu luas, terhampar samar dihadapan kami. Lagi-lagi karena gelapnya malam, semua tak terlihat dengan jelas. Duduk dan menunduk sambil sedikit mengatur napas, kami beristirahat dengan sedikit rasa was was. Syukurlah, ini sudah pos 1 itu artinya tidak lama lagi kami akan sampai.

“Kita lewat jalur lain aja, jangan lewat jalur yang pas naik, bahaya kalau udah malam gini, takut licin, habis hujan.” Ucap Pak Sakri. Memang ketika naik kemarin kami menyebrangi sebuah sungai kecil penuh batu berlumut, jelas menanda kan jarang sekali ada orang yang melintas. Kami yang tidak tahu apa-apa langsung meng iya kan, yang penting kami selamat.

Perjalanan dilanjutkan, jalur yang kami lewati kini memiliki pepohonan yang lebih kecil namun tetap menjulang tinggi. Jalannya cukup besar tidak setapak lagi seperti jalur-jalur sebelumnya. Letak pepohonan nya tidak begitu rapat, cukup berjarak antara satu dan lainnya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, masih cukup sore sebenarnya, namun tidak berlaku ditempat seperti ini, tetap sepi dan mencekam.

Sedikit rasa lega terasa dihati kami, ketika kami mendengar suara musik dikejauhan, samar-samar namun pasti kami semua mendengarnya. “Lah ada suara dangdutan, berarti kita udah dibawah ya, udah deket ke desa kali, apa ada yang hajatan?” Tanya ku. Entah apa yang ada dipikiran saya sampai bisa menyimpulkan seperti itu. Yang lain pun seperti meng Amin kan nya. “Iya, dibawah udah desa kali ya, makanya kedengeran sampe sini.”Jawab yang lain. “Berarti sebentar lagi kita sampai dong, Alhamdulillah..” Suara kami terdengar sumringah, itu artinya kami akan segera lepas dari cengkraman jalur ini, namun tidak dengan Pak Sakri yang sejak tadi hanya terdiam mendengarkan kami.

Tiga jam sudah kami berjalan tanpa beristirahat, kini waktu menunjukkan pukul 10 malam, terlepas 2 jam sudah sejak kami mendengar suara musik tadi. Namun tidak ada tanda-tanda sedikit pun kami akan sampai di sebuah desa, atau perkebunan milik warga. Kami justru seperti kembali masuk hutan. Pohon-pohon tinggi kembali menyapa, kali ini dengan semak belukar yang tingginya melebihi kepala kami. Rasa lelah kian berlipat, tak ada tempat untuk beristirahat. Kaki ini sangat lelah, Fahmi Panji mulai merasakan sakit pada kaki nya, untung lah saya tidak, kaki ini masih bisa berjalan dengan baik.

Kami harus sedikit meperlambat langkah kami, namun Pak Sakri meminta kami untuk bergegas karena hari sudah semakin larut. Headlamp hanya beberapa yang menyalanya, makin memperlambat langkah kami. Saya harus menuntun Fahmi yang kakinya kian terasa sakit, begitu juga dengan Bang Epps yang kini harus menuntun Panji. Semak-semak ini sempat membingungkan, jalur tidak terlihat dengan jelas. Untung lah Pak Sakri sepertinya sudah hapal dengan jalur ini.

“Puter balik!” Seru Pak Sakri. Owh tidak, ternyata Pak Sakri pun tidak begitu mengenal jalur ini, pikir saya. “Kurang ajar, orang disasar-sasarin.” Ucap Pak Sakri kesal. “Harusnya lewat sini, kurang ajar itu setan.” Gerutunya. Ya, ternyata makluk-makhluk ghaib tersebut belum puas mengganggu kami. Jalur yang tadinya satu kini menjadi dua dan kami mengambil jalur yang salah, untunglah Pak Sakri segera menyadarinya.

Kami kembali masuk hutan, kembali menapaki jalan setapak, tiba-tiba Asep dan Usep menghentikan langkahnya, hampir saja kami bertabrakan karna saya tidak melihat mereka berhenti, maklum sepanjang perjalanan, sejak kejadian-kejadian tadi, saya tidak berani melihat kedepan, hanya berani menundukan kepala dan sesekali menengok ke belakang untuk membantu Fahmi berjalan.

“Ada apa, kok berhenti.” Tanya Panji dan Bang Epps bersamaan. “Ga tau.” Jawab ku. “Sep ada apa?.” Tanya ku kini pada Usep. Usep, Asep, dan Widi hanya menggeleng sambil melemparkan pandang ke arah Pak Sakri. Pak Sakri terlihat mendatangi sebuah pohon. Bukan pohon besar, hanya pohon berukuran sedang, yang dikelilingi semak belukar dan tumbuhan lain disekelilingnya, sama layaknya pohon lain di hutan ini.

“Kulonuwon, kulo bade izin, niki kulo damel sekeluarga kulo saking Jakarta. Tolong ijinkan lewat, sampean boten nopo-nopo kok, sampean boten enten maksud nopo-nopo, sampean tensih dolanan, tolong boten diganggu.”

“(Permisi, kami ini cuma numpang lewat, tolong jangan diganggu, ini semua masih keluarga dari Jakarta, mereka kesini gak ada maksud apa-apa, cuma sedang main saja. Tolong diijinkan lewat, jangan diganggu).” Ucap Pak Sakri pada Pohon itu. Kami hanya tertegun melihatnya. Saya pribadi ini kali pertama menyaksikan kejadian seperti ini. Seseorang berbicara kepada sebuah pohon, hal yang sangat aneh untuk kami.

Pembicaraan berlangsung cukup lama, sepertinya sang penghuni tidak dengan mudahnya mengijinkan kami keluar dari hutan ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan dalam ketegangan ini kami pergunakan juga, sebagai waktu untuk kami mengatur nafas. Akhirnya Pak Sakri meminta kami melanjutkan perjalanan. Sepertinya, sang penunggu pohon telah mengijinkan kami untuk pergi dari sini. Dengan kembali mengatur barisan, kami bergegas kembali menapaki jalur ini. Dalam hati ingin sekali menoleh ke arah pohon yang diajak bicara tadi, namun hati ini tak seberani keinginan, lebih baik menunduk saja, dan segera berlalu dari tempat ini.

Sejak kejadian barusan, kini perjalanan kami berlangsung normal, semua lancar tanpa hambatan. Jalur terlihat jelas, dan tidak butuh waktu berjam jam kami sudah sampai di perkebunan milik warga. Kami ambruk terduduk sambil mengucap syukur “Alhamdulilllaaaahhhhhhh ya Allaaahhh,, akhirnyaaaaaa…” teriak kami seraya melabuhkan tubuh ini di sisa lahan sempit, dipinggir kebun ini. Sampai nya kami di sini, seperti kami baru kembali ke kehidupan nyata. Seperti kembali menemukan peradaban manusia, dimana sepanjang malam tadi kami seperti berputar-putar entah dimana.

Cukup lama kami terdiam, terduduk di perkebunan bawang milik warga. Tenaga kami sungguh terkuras habis. Kini waktu menunjukkan pukul 1 pagi. Itu artinya 5 jam perjalanan turun kami dari pos 1, padahal hanya butuh waktu 1-2 jam perjalanan normal.

Kami meluruskan kaki-kaki ini, sambil bertumpu di carrier masing-masing. Sambil sedikit bercanda membicarakan tentang kejadian malam ini. Namun tak banyak yang kami utarakan, karena kami sadar, kami masih disini, dekat dengan tempat mereka berdiam diri.

Akhirnya dengan tenaga yang tersisa, kami kembali melanjutkan perjalanan. Rumah Pak Sakri yang menjadi tujuan akhir kami, masih berjarak cukup jauh dari sini, kami masih harus melewati sawah, dan kebun karet milik warga. Panji dan Fahmi yang sudah sangat kelelahan serta sakit dikaki nya yang kian menjadi, sempat tidak mau berjalan lagi. Namun kami tidak mungkin bermalam disini. Dengan sedikit memaksa akhirnya mereka mau berjalan kembali, Panji dan Fahmi di papah oleh Bang Epps Serta Asep dan Usep, dibantu oleh Pak Sakri yang kini membawa carrier Panji.

Pukul 1.30 pagi, setelah melewati gang-gang sempit akhirnya kami sampai di rumah Pak Sakri.

Legaaaa rasanya, senyum sumringah terpancar dari wajah kami. Ya Allah rasanya seperti menemukan mata air ditengah gurun pasir. Kini kami bisa berseka membersihkan diri, lalu istirahat tidur nyenyak malam ini…

EPILOG

Ke esokan pagi nya, pagi-pagi sekali kami sudah dijemput oleh mobil Pick Up yang akan membawa kami ke tempat pemandian air panas Guci, dimana lewat jalur ini lah seharusnya kami mendaki kemarin.

Setelah berbincang-bincang dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Sakri dan keluarga yang sudah banyak berjasa menolong kami dipendakian kali ini, kami Pamit. Tidak lupa kami mengabadikan pertemuan kami dengan Pak Sakri dan keluarga, karena bersama beliau lah kami memiliki momen mendaki gunung yang luar biasa.

Setelah berpamitan, sekitar jam 7 pagi kami berangkat. Sesampainya di tempat pemandian, kami langsung memilih tempat untuk kami membenamkan diri di air hangat, mengendurkan otot-otot yang tegang dan meghilangkan rasa lelah.

Usai berendam, kami memanjakan perut, dengan menyantap sate ayam dan sate kambing muda disebuah rumah makan sederhana. Disinilah kami sedikit bercerita, mengulang kisah-kisah di atas gunung sana. Sambil bercerita, kami pun mengambil beberapa gambar di tempat ini. Usai berfoto-foto, kami teringat foto aneh yang tertangkap oleh kamera Fahmi ketika di Goa. Kami ingin memastikan sekali lagi, sosok apakah yang ada di dalam foto tersebut. Namun berkali-kali kami mencarinya, foto itu sudah tidak ada, hilang dengan sendirinya. Mengetahui itu, kami hanya saling pandang tanpa memperpanjang pembicaraan.

Usai memanjakan diri, kini tiba saatnya kami kembali kerumah masing-masing. Elf yang kemarin mengantar kami, kini sudah kembali terparkir di sini untuk mengantar kami pulang. Disepanjang perjalanan, ketika kami rasa sudah cukup jauh dari kaki gunung Slamet. Kami baru berani bercerita tentang apa yang dialami oleh diri kami masing-masing secara gamblang. Bahwa sebernarnya, Panji melihat ada 3 orang anak kecil bertengger diatas tas ransel Widi karena Widi membawa pembalut bekas pakai nya. Selain itu, ternyata hanya Saya, Widi dan Fahmi yang melihat makhluk kerdil itu melompat-lompat disemak-semak dan berdiri dipinggir jalur, Bang Epps hanya mendengar suaranya saja tanpa bisa melihatnya.
Ketika di rumah makan, Usep, Asep, Widi dan Panji, telinganya terasa panas ketika membicarakan sosok anak kecil di tas Widi sambil melihat-lihat foto yang hilang dikamera

Suara music yang kami dengar diatas, bukannya suara music dari rumah warga, namun merupakan gending gamelan yang jika saya baca itu merupakan tanda bahaya bahwa kami bisa saja masuk ke alam lain. Namun lagi-lagi Alhamdulillah kami selamat, berkat lindungan dari Allah SWT pemilik alam semesta beserta isi nya.

Itu lah sekelumit kisah kami, Gunung slamet via jalur Dukuh Liwung, memberikan kesan tersendiri pada pendakian kami kali ini. Semoga apa yang terjadi pada kami dapat dijadikan pembelajaran dan ada hikmah yang bisa diambil

Kurang lebih nya saya sebagai penulis dan mewakili rekan-rekan saya, mohon maaf dan terimakasih sudah membaca kisah ini..

__TAMAT__

Author: Nina Fitriana