BAB I
PENDAHULUAN
Umum diketahui bahwa al-Qur’an tak hanya berisi etika, butir-butir
sejarah, aqidah, dan tasawwuf. Dalam al-Qur’an juga dijabarkan persoalan hukum.
Hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat global-ringkas (‘am dan kulli), dan ada
yang partikular-detail (khash dan far’i). Bahasan al-Qur’an tentang shalat,
puasa, zakat, dan haji termasuk ringkas dan umum. Al-Qur’an tak menjelaskan
tentang tata cara shalat, mekanisme pengeluaran zakat, praktek penyelenggaraan
haji, dan sebagainya. Sementara di antara ayat-ayat al-Qur’an yang detail dan
partikular itu adalah soal hukum waris. Al-Qur’an menyebutkan siapa mendapatkan
apa. Siapa saja ahli waris yang mendapatkan bagian waris, dan seberapa besar
bagian warisnya. Apa yang telah rinci disebut dalam al-Qur’an itu didetailkan
kembali dalam Hadits dan dijabarkan (ditafsirkan atau ditakwilkan) dalam tafsir
para ulama dari dulu hingga sekarang.
Ribuan tahun lalu hukum waris itu ditetapkan di Madinah. Ia
dipraktekkan untuk puluhan ribu umat Islam di sana. Hukum waris yang
disyariatkan itu dirasa lebih manusiawi dan lebih sesuai dengan konteks
masyarakat Madinah ketika itu ketimbang pembagian waris yang berjalan sebelum
Islam. Namun, ketika Islam berkembang ke berbagai negeri, hukum waris itu
berjumpa dengan tradisi dan relasi kemanusiaan yang berbeda. Jika hukum waris
dulu itu turun dalam konteks masyarakat partrinial, maka dalam perkembangannya
hukum waris itu pun bertemu dengan struktur masyarakat matrilinial. Gerak zaman
pun sedang mengarah kepada relasi laki-perempuan yang berkeadilan dan
berkesetaraan; anak perempuan diposisikan sama belaka dengan anak laki-laki.
Laki dan perempuan memang lain secara biologis, tapi bukan untuk dilainkan
dalam pembagian waris.
Dengan latar itu, muncul berbagai suara yang menunjukkan
ketidak-puasan terhadap sistem dan pola pembagian waris. Para pembaharu Islam
berusaha untuk melakukan kontekstualisasi dan reaktulisasi hukum waris Islam. Untuk
itu di dalam pembahasan makalah ini kita akan coba melihat mengenai sejarah
tentang kewarisan dan seperti apa sebab-sebab kewarisan itu sendiri sejak
sebelum atau pra Islam sampai zaman adanya Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah
Tentang Kewarisan
Hukum waris sudah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Kehadiran
hukum waris Islam untuk perbaikan jenis ketidak-adilan dalam pembagian waris
tersebut. Pertama, dikisahkan bahwa pada zaman Arab pra-Islam, warisan tak
diberikan kepada anak kecil (ma kanu yuwarritsuna al-shighar). Ini karena
anak kecil tak menghasilkan secara ekonomi. Kita tahu bahwa ekonomi masyarakat
Arab pra-Islam sangat tergantung pada bisnis-perniagaan, di samping juga pada
hasil jarahan dan rampasan perang dari kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa
yang ditaklukkan. Dengan demikian, hanya orang yang menghasilkan harta yang pantas
mendapatkan harta pusaka.
Dalam konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa
anak kecil, baik laki maupun perempuan, mendapatkan hak untuk mendapatkan
warisan. Dikisahkan bahwa Aus ibn Tsabit wafat dengan meninggalkan dua anak
perempuan dan satu anak laki-laki. Lalu datanglah dua anak laki-laki pamannya
bernama Khalid dan Arfathah (saudara sepupu laki-laki anak-anak Aus) mengambil
semua harta warisan Aus ibn Tsabit. Dengan pengambilan harta itu, janda
mendiang Aus mengadu kepada Nabi, lalu turunlah ayat al-Qur’an, “Bagi laki-laki
ada bagian harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya; dan
bagi perempuan pun ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua
dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak darinya, suatu bagian yang telah
ditetapkan”.
Dalam ushul fikih dikatakan bahwa anak kecil memang tak cakap
bertindak (ahliyya’ al-ada’), tapi ia tetap cakap hukum (ahliyyah al-wujub).
Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ (4): 12), “Allah memerintahkan
kepadamu mengenai bagian anak-anakmu; untuk seorang anak laki-laki (al-dzakar)
seperti bagian dua orang anak perempuan”. Memberikan bagian waris terhadap anak
kecil saat itu kontroversial, dan lebih kontroversial lagi dengan memberikan
waris kepada anak perempuan. Al-Qur’an menggambarkan perilaku buruk sebagian
masyarakat Arab pra-Islam yang suka membunuh dan mengubur hidup-hidup anak-anak
perempuan. Allah berfirman (QS, al-Nahl [16]: 58) :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ
بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُه مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌُ
Artinya : ”Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
Kedua, berbagai ulama berkata bahwa perempuan zaman pra-Islam tak
mendapatkan warisan. Alih-alih mendapatkan warisan, mereka dianggap sebagai
barang yang perlu diwariskan. Berbagai sumber menceritakan bahwa jika seorang
laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang istri, maka para wali dan keluarga
terdekat mendiang suami lebih berhak untuk menikahi si janda tersebut. Jika
mereka hendak menikahi, maka pernikahan bisa dilangsungkan. Jika mereka enggan
untuk menikahi, maka si janda tersebut dibiarkan sampai meninggal dunia. Ibn
Jarir al-Thabari mengisahkan bahwa Abu Qais ibn al-Aslat wafat dengan meninggalkan
istri bernama Kabisyah binti Ma’an ibn Ashim. Dengan meninggalnya sang ayah,
anak dari Abu Qais hendak menikahi ibu tirinya tersebut. Tradisi ini sudah
berlangsung lama yang kemudian dikritik oleh Islam.
Dalam konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 19, yang artinya “Hai
orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai perempuan dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya..”. Rasyid Ridha
menegaskan bahwa ayat ini menegaskan sebuah realitas dimana perempuan
direndahkan dan dianggap sebagai barang yang bisa diwariskan, sehingga keluarga
sang suami bisa mewarisi si perempuan sebagaimana bisa mewarisi harta mereka.[1]
Dengan dasar itu, maka Allah mengharamkan pewarisan seorang janda
kepada keluarga terdekat. Bahkan, diturunkan sebuah ayat waris yang menegaskan
perempuan dalam satu keluarga adalah ahli waris, sebagaimana laki-laki. Dengan
jeli ayat waris itu mengkritik terhadap tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang
tak memberikan waris kepada perempuan. Bagi orang Arab ketika itu, yang berhak
mendapatkan warisan adalah mereka yang menghasilkan secara finansial. Dengan
demikian, perempuan yang tak bekerja menghasilkan harta dianggap tak pantas mendapatkan
warisan harta. Mereka berkata, “bagaimana kami bisa memberikan harta kepada
orang yang tak pernah menunggang kuda, tak memanggung senjata untuk berperang,
dan tak pernah berperang melawan musuh (yuqatilul al-‘aduwwa). Kami menanggung
nafkah mereka dan mereka tak menanggup nafkah kami”.[2]
Apa yang berlaku pada zaman pra-Islam itu tampaknya terus bertahan
hingga Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah. Diriwayatkan oleh Jabir ibn
Abdullah bahwa janda mendiang Sa’ad ibn al-Rabi’ pernah mengadu kepada
Rasullah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah: Sa’ad telah wafat dengan meninggalkan
dua anak perempuan. Tapi, seluruh harta peninggalan Sa’ad diambil oleh saudara
laki-lakinya sehingga tak tersisa sedikitpun, sementara dua anak perempuan
Sa’ad membutuhkan biaya untuk keperluan pernikahan mereka”. Lalu Rasulullah
memanggil sang paman (saudara laki-laki Sa’ad) dan berkata kepadanya, “berikan
dua pertiga harta Sa’ad kepada anak perempuannya, seperdelapan buat istrinya,
dan sisanya buat kamu”. Maka turunlah surat an-Nisa’ ayat 11-12 yang berbicara tentang hukum
waris.[3]
Riwayat lain mengisahkan bahwa ayat waris dalam al-Qur’an turun
dengan sebab berikut. Alkisah, Abdurrahman ibn Tsabit (saudara laki-laki Hassan
ibn Tsabit yang penyair itu) wafat dengan meninggalkan seorang istri bernama
Ummu Kajjah dan lima saudara perempuan. Maka datanglah para ahli waris untuk
mengambil seluruh harta peninggalan Abdurrahman ibn Tsabit. Lalu Ummu Kajjah
datang mengadu kepada Nabi. Maka, turunlah firman Allah yang mengatur pembagian
waris dalam Islam, yaitu surat al-Nisa’ ayat 12.[4]
Penjelasan ini hendak menunjukkan bahwa hukum waris atau mekanisme
pembagian waris sudah ada pada zaman sebelum Islam. Tradisi pewarisan seperti
itu berlangsung selama tiga belas tahun umat Islam berada di Mekah. Sebab, ayat
yang berbicara tentang waris baru turun dalam periode Madinah. Bahkan, dalam
periode awal di Madinah, Rasulullah menetapkan mekanisme hukum waris tertentu.
Menurutnya, kebersamaan dalam hijrah dan kesetiakawanan sebagai sesama umat
Islam menyebabkan adanya hubungan kewarisan. Setiap umat Islam adalah
bersaudara, dan setiap yang berhijrah adalah pewaris bagi pelaku hijrah yang
lain. Menurut Rasyid Ridha, hukum kewarisan seperti di awal periode Madinah ini
ditetapkan Nabi karena sebagian besar keluarga dekat (dzawi al-qurba) umat
Islam adalah orang-orang musyrik. Dalam ancaman pembunuhan orang-orang musyrik
itu, maka umat Islam harus bersatu padu saling menolong (al-tanashur) dan
saling menanggung (al-takaful). Apalagi, umat Islam yang hijrah ke Madinah itu
telah berjihad dengan meninggalkan seluruh harta bendaanya di Mekah. Dalam
kondisi itu, menurut Rasyid Ridha, wajar sekiranya Nabi Muhammad membentuk
solidaritas sesama umat Islam bahkan sampai dalam hubungan kewarisan.[5]
B.
Kewarisan
Pada Zaman Pra Islam
Hukum
kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh
masyarakat jahiliyyah. Orang-orang arab jahiliyah adalah tergolong salah satu
bangsa yang gemar mengembara dan berperang, nomaden (pindah-pindah). Ciri-ciri
tersebut merupakan kultur yang mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk
niali-nilai, sistem hukum dan sistem sosial yang berlaku.
sehingga kekuatan fisik pun menjadi salah satu ukuran di dalam sistem hukum
kewarisannya.
Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan
dan rampasan perang dari bangsa bangsa yang telah mereka taklukkan, disamping
ada juga yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam
bidang mu’ammalah dan pembagian harta
pusaka, mereka berpegang teguh kepada tradisi-tradisi yang telah
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang
telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum
dewasa dan perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang
telah meninggal dunia. Tradisi menganggap bahwa anak-anak yang belum
dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas
menjadi ahli waris. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan
dari seseorang yang telah meninggal adalah sebagai wujud harta peninggalan yang
dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris.
Banyak sekali
riwayat dari para Sahabat yang menceritakan hal itu. Salah satunya adalah Ibnu
Abi Thalhah, misalnya mengutip suatu riwayat Ibnu ‘Abbas
r.a yang menjelaskan ”bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan
meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya
dimuka perempuan tersebut, (atas tindakan ini). Maka ia melarangnya untuk
dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik terus dikawininya dan
jika
jelek ditahannya sampai
meninggal dunia untuk
kemudian dipusakai harta peninggalannya.[6]
Sebagai bukti
bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman
jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihsham bin Abu Qais al-Aslat,
sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang
tidak diurus belanjanya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda
tersebut meminta izin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan
Mihsham. Disaat itu Rasulullah s.a.w. belum dapat memberikan jawaban spontan.
Baru beberapa saat kemudian setelah Allah menurunkan ayat: 19 dari surah An
Nisa’ :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا
النِّسَاءَ كَرْهًا
“Hai orang orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita-wanita (janda-janda simati) dengan cara paksaan”
Ayat di atas
tidak bisa dipahami bahwa mewarisi janda-janda dengan jalan bukan paksaan
diperbolehkan. Dalam kaitan ini Allah memberikan penegasan dalam surah An Nisa’ ayat 22:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا
قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan seburuk
buruk jalan (yang ditempuh)”
Akhirnya hasrat Mihsham untuk mengawini janda ayahnya
dilarang oleh Rasulullah setelah menerima wahyu dari Allah, merupakan suatu
bukti bahwa tradisi semacam itu sudah biasa dilakukan oleh orang jahiliyah
sebelum datangnya agama Islam. Adapun
penundaan Rasulullah sampai saat turunnya wahyu yang melarangnya,
disebabkan adat tersebut sudah mendarah
daging pada mereka sehingga memerlukan petunjuk yang tegas dari Allah.
Adapun
dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah atau sebelum Islam ialah
sebagai berikut:
1.
Pertalian kerabat (al-qara>bah)
2.
Janji prasetia (al-h}ilf
wa al-mu’a>qadah)
3.
Pengangkatan anak (al-tabanni
atau adopsi)
Sebelumnya
ada syarat khusus ialah dimana seorang pewaris atau yang mewarisi adalah
laki-laki yang sudah dewasa. Selanjutnya barulah ketiga syarat tadi. Sedang
laki-laki yang belum dewasa dan belum biasa berperang tidak boleh
mendapatkan warisan. Bergitu pula perempuan, mereka sama sekali tidak berhak
mendapatkan harta warisan, bahkan mereka menjadi harta warisan.[7]
1. Pertalian kerabat (al-qara>bah) atau
nasab (keturunan)
Pertalian
kerabat disini adalah mereka laki laki dan kuat fisiknya. Pertimbangannya,
merekalah yang secara fisik kuat memanggul senjata, menghancurkan musuh demi
kehormatan suku dan marga mereka. Implikasinya, wanita dan anak anak tidak
mendapatkan bagian warisan. Karena keduanya tidak sanggup melakukan tugas
peperangan, dan dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena itu, kerabat yang dapat menerima warisan pada
zaman jahiliyah adalah:
• Anak laki laki
• Saudara laki laki
• Paman
• Anak laki laki paman
Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka.
Bahkan orang-orang perempuan, yaitu isteri ayah atau isteri saudara dijadikan
harta pusaka.
Hal ini bisa dilihat dari hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari[8] : “Telah berceritera
kepada kami Muhammad bin Muqotil, telah berceritera kepada kami Asbath bin
Muhammad, telah berceritera kepada kami Asy-Syaibaniy, dari ikrimah, dari Ibnu
Abbas, Asy-Syaibaniy berkata dan disebut pula oleh Abul Hasan As-Suwa’iy dan saya tidak menduganya ia menyebutkannya keculi dari
Ibnu Abbas : “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu sekalian
mewarisi orang-orang perempuan dengan cara paksa”, ia berkata: Mereka itu dulu
apabila seorang lelaki mati, wali-wali dari si mati itulah yang lebih berhak
atas isteri si mati, apabila sebagian mereka menghendakinya, mereka
mengawininya, atau apabila mereka
menghendaki, mereka akan mengawinkannya atau tidak mengawinkannya. Mereka para
wali inilah yang lebih berhak atas perempuan itu dari pada keluarga
si perempuan itu sendiri karena itu tuunlah ayat : “Wahai orang-orang yang
beriman, tidak halal atas kamu sekalian mewarisi orang -orang perempuan dengan
cara paksa”.
Begitu pula
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud :
“Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Tsabit Al-Marwazy, telah
berceritera kepada saya Aliy bin Husain, dari ayahnya, dari Yazid
An-Najwiy,dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, berkata Tidak halal bagi kamu sekalian
mewarisi orang-orang perempuan dengan cara paksa dan janganlah kamu mempersulit
mereka karena hendak mengambil sebagian dari apa yang telah engkau sekalian
berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka telah melakukan perbuatan keji
yang nyata. Hal tersebut adalah lantaran seorang lelaki itu mewarisi isteri
kerabatnya, kemudian si lelaki itu membuat susah perempuan tersebut sampai ia
mati atau ia mengembalikan maskawin yang dulu ia terima. Kemudian Allah
menetapkan ketentuan tersebut , artinya Allah melarang perbuatan yang seperti
itu.
Sedang
dalam kaitannya dengan pengankatan anak, masyarakat jahiliyah menyamakan anak hasil
zina dengan anak kandung. Hubungannya dinasabkan kepada ayah (zina)nya.
Sehingga anak tersebut juga memiliki hak waris yang sama penuhnya dengan anak
kandung.
2. Janji prasetia (al-h}ilf wa al-mu’a>qadah)
Janji
prasetia dijadikan dasar perjanjian dalam masyarakat jahiliyah. Karena melalui
perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan “martabat”
suku dapat dipertahankan. Janji prasetia dapat dilakukan oleh dua orang atau
lebih. Pelaksanaanya, seseorang berikrar kepada orang lain untuk saling
mewarisi apabila salah satu diantara mereka meninggal dunia. Tujuannya ialah
untuk kepentingan tolong menolong, nasihat-menasihati, dan mendapatkan rasa
aman. Untuk itu hanya biasa dilakukan antara orang orang yang
telah dewasa dan cakap melakukannya. Inilah sumpah yang diikrarkan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mempusakai hartaku akupun mempusakai
hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku akupun dituntut
darahku karena tindakanku padamu dan kamu diwajibkan membayar denda sebagai
pengganti nyawaku akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti dari
nyawamu”
Adapun dalil yang melegalkan hal ini, ialah dalam QS.
surah An Nisa’ ayat 33:
وَلِكُلٍّ
جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua
orang tua dan kerabat-kerabat, kami
jadikan pewaris pewarisnya. Dan (jika ada) orang yang telah berjanji Prasetia
dengan kamu, maka berikanlah bagiannya ”
Namun, hal ini hanya sebagian Ulama’
Hanafiyyah saja yang tetap memberlakukan ketentuan hukum menurut isi ayat
tersebut. Alasan yang dikemukakan, tidak ada ayat lain yang menasakh atau
menghapusnya, sehingga menurut kalangan mereka dapat dilakukan sesuai ayat
tersebut. Bagi yang janji prasetia akan mendapat 1/6 dari harta peninggalan si
mayyit. Seperti halnya pertalian kerabat, bahwa yang berhak mewarisi adalah
laki-laki yang kuat dan bisa melindungi. Bagi yang terikat janji setia pun
begitu.
3.
Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)
Dalam
tradisi Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim.
Status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya
seseorang mengambil anak laki laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan
kedalam keluarga bapak angkatnya. Karena statusnya sama dengan anak kandung,
maka terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia. Lebih
dari itu, hubungan kekeluargaannya terputus, dan oleh karenanya tidak bisa
mewarisi harta peninggalan harta ayah kandungnya8. Anak angkat bukan
saja status hukumnya sama dengan anak kandung, tetapi juga perlakuan, pemeliharaan
dan kasih sayang. Untuk selanjutnya pengangkatan anak ini masih berlaku sampai
masa awal-awal islam.
Adapun Menurut Rasyid Ridha menjelaskan bahwa pada
zaman pra-Islam, sebab-sebab terjadinya pewarisan itu ada tiga. Pertama, karena
ada hubungan nasab (al-nasab). Namun, hubungan nasab ini hanya dikhususkan buat
laki-laki dewasa yang bisa menunggang kuda, memerangi musuh, memperoleh harta
rampasan perang. Dengan demikian, anak laki-laki yang masih kecil dan kaum
perempuan tak mendapatkan bagian waris. Kedua, karena ada hubungan anak angkat
(al-tabanni). Anak angkat mendapatkan bagian waris pada zaman pra-Islam
sekalipun yang bersangkutan tak punya hubungan darah dengan ayah atau ibu
angkatnya. Ketiga, karena ada sumpah dan kesepakatan. Sekiranya seseorang
berkata kepada salah seorang temannya, “darahku, darahmu juga, hartaku adalah
hartamu juga, antara engkau dan aku saling mewarisi, kau bisa meminta kepadaku
dan aku pun bisa meminta kepadamu”. Jika mereka bersepakat, sekiranya salah
satu dari keduanya meninggal dunia, maka terjadi hubungan kewarisan di antara
mereka.
C. Kewarisan Pada Masa Islam
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak
kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan
hubungan karena sebab al-wala’.
a. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang
yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena
kekerabatan termasuk unsur kausalitas (sebab akibat) adanya
seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan
perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan
sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالأقْرَبُونَوَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالأقْرَبُونَمِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
”Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S.
An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ
وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوامَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang
yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
(Q.S. Al-Anfal : 75).
b. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya
saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan
rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama.
Tentang syarat administrasi masih
terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan
kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan
bukan secara administrasi (hukum positif) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara muslim, seperti Pakistan,
perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan
kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi
perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrasi (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudaratan,
seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti
tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan
saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh.
Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila
perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa
iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap
masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa
memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa
menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri
yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak
mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta
isterinya.
c. Hubungan karena sebab
al-wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan
seseorang yang lain. Wala’ yang pertama
disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah
membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki
dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan
walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong
menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata
kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah
mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang,
demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian
orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali
dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun
bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari
harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut
jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah
melalui surat al-Anfal ayat 75 : “Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
D. Tujuan Diturunkannya Ayat-Ayat
Waris
Ayat-ayat waris dalam al-Qur’an bertujuan :
-
Untuk
membatalkan formula hubungan kewarisan yang ditetapkan Nabi Muhammad
sebelumnya. Ini seiring dengan makin besarnya jumlah keluarga muslim dalam
periode Madinah terakhir. Apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Mekah.
Sehingga bisa diperkirakan tak ada lagi seorang muslim yang memiliki keluarga
non-muslim. Karena itu, ketentuan Nabi bahwa hubungan kewarisan diikat oleh
faktor hijrah dan persaudaraan sesama umat Islam sudah tak relevan. Setelah
ayat waris dalam al-Qur’an turun, maka muncul formula baru bahwa hubungan
kewarisan terjadi karena dua hal, yaitu hubungan nasab dan hubungan perkawinan.
-
Ayat waris
turun untuk membatalkan hukum waris pra-Islam itu dianggap tidak adil dan
diskriminatif. Hukum waris pra-Islam itu harus dirombak dengan hukum waris yang
lebih berkeadilan dan berkemanusiaan. Anak laki-laki kecil (al-shighar) dan
perempuan yang pada mulanya tak mendapatkan warisan, pada zaman Islam
mendapatkan warisan. Jika suami meninggal dunia, seorang istri tak boleh
dicampakkan begitu saja. Si istri juga mendapatkan warisan, sebagaimana ahli
waris yang lain.
Untuk menjaga dan mengadvokasi hak kelompok-kelompok
lemah dalam keluarga saat itu (anak laki-laki kecil dan perempuan), al-Qur’an
segera menetapkan beberapa ahli waris inti yang mendapatkan warisan. Ditetapkan
bahwa kelompok ahli waris terdiri dari dua kelompok. [1]. Menurut hubungan
darah. Dari golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu,
anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. [2]. menurut hubungan perkawinan
terdiri dari duda atau janda. Para ulama, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits,
menetapkan apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan
hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Hukum waris pada zaman Pra Islam lebih ditekankan pada bentuk
kekuatan
fisik, sehingga yang berhak mendapatkan warisan adalah laki-laki yang sudah
dewasa dan bisa berperang. sedangkan kedudukan perempuan sangat rendah.
Tidak hanya tidak mendapatkan harta, tetapi dia juga dijadikan harta warisan.
Secara umum sebab-sebab mendapatkan warisan pada zaman Pra Islam
adalah :
fisik, sehingga yang berhak mendapatkan warisan adalah laki-laki yang sudah
dewasa dan bisa berperang. sedangkan kedudukan perempuan sangat rendah.
Tidak hanya tidak mendapatkan harta, tetapi dia juga dijadikan harta warisan.
Secara umum sebab-sebab mendapatkan warisan pada zaman Pra Islam
adalah :
a. Kekerabatan (al-qara>bah)
b. Janji prasetia (al-h}ilf wal mu’a>qadah)
c. Pengangkatan anak (tabanni/adopsi)
Hukum
kewarisan pada masa Islam sudah mengalami pembaharuan. Ada beberapa penyebab
yang sudah dihapuskan dari ketentuan pada zaman pra Islam. Diantaranya yang
sudah dihapus adalah janji prasetia. Secara umum penyebab mendapatkan warisan
pada masa Islam adalah :
a.
Hubungan kekerabatan
b.
Hubungan perkawinan
c.
Hubungan karena sebab al-wala’.
DAFTAR PUSTAKA
-
As-Shabuni,
Muhammad Ali. 1979. Hukum Waris Dalam Syariat
Islam. Bandung : CV. Diponegoro.
-
Dra.
Hasniah Hasan. 1994. Hukum Warisan Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
-
Drs.
Ahmad Rofiq. 1998. Fiqih Mawaris. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
-
Umam,
Dian Khairul. 1999. Fiqih Mawaris. Bandung : CV. Pustaka Setia.
-
http://achmadyanimkom.blogspot.com/2008/12/ilmu-faraidh-sejarah-dasar-hukum-dan.html”
[2] Baca Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IV, hlm. 322.
[3] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid III, hlm. 56;
Bandingkan dengan Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid V, hlm. 211.
[4]Baca Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid
III, hlm. 617.
[5] Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IV, hlm. 323
[7] Muhammad al-zuh}aili>, al-fara>idh
wal mawa>rits wa al washaya, (Beirut : da>r al-kalam,2001),27