Part 3. The End
Tubuhku
menggigil tak terkendali. Tidak sedikitpun aku mampu bergeser. Makhluk
itu terus menatapku, wajahnya yang penuh darah nampak berkilat saat
tertimpa cahaya bulan.
Dibelakangku, jubah hitam Nyi Linggi nampak bergoyang tertiup angin. Dari sudut mataku, kulihat tangannya bergerak hendak meraihku. Tak mampu bergerak, mataku membelalak dengan ngeri saat jari-jari pucatnya menyentuh pundakku. Dengan kalut aku mencoba mengingat doa apa saja, tapi pikiranku yang panik tak mampu mengingat satu doa pun.
Aku mampu menguasai lagi tubuhku saat kudengar bunyi kepakan sayap lewat ditelingaku. Seekor gagak hitam terbang diantara aku dan Nyi Linggi lalu hinggap diatas nisan kuburan Ayu.
Kepala burung itu bergerak-gerak. Matanya yang hitam seakan melihat padaku. Lalu tiba-tiba dia berkaok dengan kencang dan terbang kearahku. Aku berteriak ketakutan sambil menutupi wajah dengan tangan mencoba menghindari cakaran burung hitam itu. Tapi dia lewat begitu saja, dan disaat yang bersamaan terlepas juga kuku Nyi Linggi yang menancap dipundakku. Sadar, aku segera beringsut ke samping dengan cepat menghindari gapaian tangan Nyi Linggi, lalu dengan kaki gemetar aku berbalik arah dan berlari secepat yang aku mampu.
Aku berlari tak tentu arah. Kabut kelabu menghalangi pandanganku. Yang kupikirkan hanyalah bergerak terus sejauh mungkin. Membayangkan tangan pucat Nyi Linggi menggapai punggungku membuat seluruh tubuhku gemetar.
Sebuah siluet hitam muncul mendadak didepanku, tak mampu menghindari, aku terjatuh berguling-guling ditanah. Aku langsung bangkit, waspada. Mataku nyalang melihat sekeliling berusaha mencari sosok Nyi Linggi dan Mahkluk darah tadi. Mereka tidak terlihat di mana-mana, sekelilingku hanya kabut tebal. Tidak juga terdengar suara apapun.
Didepanku nampak gundukan tanah. Sebuah kuburan lagi. Aku terjatuh karena menghindari kuburan ini yang tiba-tiba muncul ditengah kabut. Sedetik bulu kudukku meremang, takut jika ternyata aku cuma berputar-putar ditempat. Tapi sekilas pandang aku langsung lega, ini bukan kuburan baru. Ini kuburan yang berbeda. Nisannya dari batu yang sudah dipenuhi lumut.
Dengan pelan aku bergeser mendekat. Aku bersembunyi dibalik batu nisan. Dari baliknya, dengan ketakutan aku mencari-cari sosok yang mendekat, tapi yang nampak hanya kabut.
Kesempatan ini kugunakan untuk mengatur nafas dan menenangkan riuh detak jantungku. Dengan pelan kusentuh kantong celanaku, khawatir jika pembalut itu jatuh, tapi benda itu masih disana.
Kepakan sayap terdengar lagi, dan tiba-tiba dari balik kabut Gagak hitam itu muncul dan langsung mendarat dibatu nisan diatas kepalaku. Aku kaget setengah mati, menghindar berguling menjauh. Gagak itu diam disana seakan tak peduli. Dia mengembangkan sayap hitamnya dan mulai mematuk-matuki sayap itu. Aku masih mengawasinya waspada. Berbagai kejadian malam ini mengajarkanku, apa pun bisa terjadi. Leherku kaku, tapi aku tak ingin mengalihkan pandangan dari burung ini. Aku meyakinkan diri agar siap jika burung itu berubah menjadi Kuntilanak atau setan apapun. Tapi burung itu sama sekali tidak mempedulikanku. Dia mengepakkan sayapnya lalu turun ke atas pusara kuburan itu. Paruhnya mematuki lumut yang tumbuh subur menutupi nisan.
Dibelakangku, jubah hitam Nyi Linggi nampak bergoyang tertiup angin. Dari sudut mataku, kulihat tangannya bergerak hendak meraihku. Tak mampu bergerak, mataku membelalak dengan ngeri saat jari-jari pucatnya menyentuh pundakku. Dengan kalut aku mencoba mengingat doa apa saja, tapi pikiranku yang panik tak mampu mengingat satu doa pun.
Aku mampu menguasai lagi tubuhku saat kudengar bunyi kepakan sayap lewat ditelingaku. Seekor gagak hitam terbang diantara aku dan Nyi Linggi lalu hinggap diatas nisan kuburan Ayu.
Kepala burung itu bergerak-gerak. Matanya yang hitam seakan melihat padaku. Lalu tiba-tiba dia berkaok dengan kencang dan terbang kearahku. Aku berteriak ketakutan sambil menutupi wajah dengan tangan mencoba menghindari cakaran burung hitam itu. Tapi dia lewat begitu saja, dan disaat yang bersamaan terlepas juga kuku Nyi Linggi yang menancap dipundakku. Sadar, aku segera beringsut ke samping dengan cepat menghindari gapaian tangan Nyi Linggi, lalu dengan kaki gemetar aku berbalik arah dan berlari secepat yang aku mampu.
Aku berlari tak tentu arah. Kabut kelabu menghalangi pandanganku. Yang kupikirkan hanyalah bergerak terus sejauh mungkin. Membayangkan tangan pucat Nyi Linggi menggapai punggungku membuat seluruh tubuhku gemetar.
Sebuah siluet hitam muncul mendadak didepanku, tak mampu menghindari, aku terjatuh berguling-guling ditanah. Aku langsung bangkit, waspada. Mataku nyalang melihat sekeliling berusaha mencari sosok Nyi Linggi dan Mahkluk darah tadi. Mereka tidak terlihat di mana-mana, sekelilingku hanya kabut tebal. Tidak juga terdengar suara apapun.
Didepanku nampak gundukan tanah. Sebuah kuburan lagi. Aku terjatuh karena menghindari kuburan ini yang tiba-tiba muncul ditengah kabut. Sedetik bulu kudukku meremang, takut jika ternyata aku cuma berputar-putar ditempat. Tapi sekilas pandang aku langsung lega, ini bukan kuburan baru. Ini kuburan yang berbeda. Nisannya dari batu yang sudah dipenuhi lumut.
Dengan pelan aku bergeser mendekat. Aku bersembunyi dibalik batu nisan. Dari baliknya, dengan ketakutan aku mencari-cari sosok yang mendekat, tapi yang nampak hanya kabut.
Kesempatan ini kugunakan untuk mengatur nafas dan menenangkan riuh detak jantungku. Dengan pelan kusentuh kantong celanaku, khawatir jika pembalut itu jatuh, tapi benda itu masih disana.
Kepakan sayap terdengar lagi, dan tiba-tiba dari balik kabut Gagak hitam itu muncul dan langsung mendarat dibatu nisan diatas kepalaku. Aku kaget setengah mati, menghindar berguling menjauh. Gagak itu diam disana seakan tak peduli. Dia mengembangkan sayap hitamnya dan mulai mematuk-matuki sayap itu. Aku masih mengawasinya waspada. Berbagai kejadian malam ini mengajarkanku, apa pun bisa terjadi. Leherku kaku, tapi aku tak ingin mengalihkan pandangan dari burung ini. Aku meyakinkan diri agar siap jika burung itu berubah menjadi Kuntilanak atau setan apapun. Tapi burung itu sama sekali tidak mempedulikanku. Dia mengepakkan sayapnya lalu turun ke atas pusara kuburan itu. Paruhnya mematuki lumut yang tumbuh subur menutupi nisan.
Mataku mengikuti arah pandang orang itu. Dipucuk pohon tua tadi, berdiri, adalah Nyi Linggi.
Tidak ada angin yang berhembus. Tidak juga bunyi-bunyian hutan. Sekitarku seakan membeku. Aura kemarahan kurasakan sangat menekan. Seluruh persendianku kaku. Aku bahkan tak mampu menoleh sama sekali. Mataku terpaku tanpa mampu berkedip melihat Nyi Linggi melayang turun.
Orang itu masih berdiri ditempatnya, tapi kini dia agak mundur dan bergeser menghalangi pandanganku pada Nyi Linggi. Aura mistis kurasakan semakin menjadi-jadi. Tubuhku menggigil hebat. Bukan hanya aku, tangan orang itu pun kulihat mulai gemetar.
Aku langsung diserang panik. Bagaimana kalau orang itu memilih kabur dan meninggalkanku dengan kaki yang tak mampu digerakkan? Aku merinding. Untuk pasrah pun aku tak mampu. Aku tidak ingin mati ditempat ini.
Kabut tipis terlihat bergerak turun dari tanjakan terjal disebelah kananku, sementara dikiriku entah jalur turun atau jurang, aku tak mampu lagi mengingat aku ada dimana. Arah itu bagai terputus begitu saja ditelan kegelapan rimbunan pohon dan ranting yang saling menyilang.
Sesuatu tergantung terbalik di dahan ranting itu. Kepala dan tangannya terkulai kebawah, wajahnya tertutup rambut, tapi aku merasa matanya menatap lekat ke arahku.
Aku bahkan sudah tak mampu lagi untuk bereaksi. Saat bau pandan tercium semakin kuat, aku sudah nyaris tidak peduli. Mungkin memang hidupku sudah tidak lama lagi.
Tapi mengingat Ayu, aku merasa bersalah karena hampir menyerah. Andai waktu itu aku tak mengajaknya mendaki Ciremai..
Dadaku kembali hangat. Ada setitik semangat yang muncul. Aku sudah sejauh ini. Aku mesti berhasil. Kami berdua harus kembali ke Jakarta, kembali kekehidupan normal kami yang biasa.
Seiring ketenangan yang muncul, kakiku kembali mampu bergerak walau lemah. Perlahan kucoba berdiri. Rupanya itu hanya ketenangan palsu. Kembali aku terjatuh, kakiku terlalu lemah untuk berdiri.
Dengan tangannya yang gemetar, orang itu memberikanku aba-aba untuk diam.
Dengan wajah pucatnya, Nyi Linggi berdiri disana, hanya terpisahkan oleh jalur. Diam mematung. Diatasnya, didahan-dahan pohon kuntilanak-kuntilanak bergerak-gerak dengan ganjil.
Ditengah ketegangan yang memuncak, telingaku mendengar sesuatu. Suaranya berasal dari arah jalur bawah. Mataku membelalak ketika sesuatu itu akhirnya muncul. Itu adalah suara rombongan beberapa pendaki yang naik malam.
Orang yang terdepan nampak membawa carrier ukuran besar, membuat jalannya membungkuk. Dibelakangnya mengekor dua orang lain, jalannya terseok dan tampak kepayahan. Aku tegang menyaksikan mereka melintas pelan diantara orang itu dan Nyi Linggi. Tapi seperti pendaki sebelumnya, mereka pun nampaknya tak melihat kami. Semua mata menatap para pendaki itu. Bola mata Nyi Linggi bergerak mengikuti langkah pendaki terakhir yang tiba-tiba berhenti.
Jantungku mencelos mendengar pendaki itu berteriak memanggil dua temannya, "oii setan, istirahat dulu sebentar. Cape banget gua ini, anjing!"
Dengan takut-takut kuberanikan diri melihat Nyi Linggi. Aku ngeri membayangkan reaksinya mendengar ocehan tidak sopan barusan.
Dengan pelan dan terpatah-patah kulihat wajah Nyi Linggi menoleh ke pendaki itu. Matanya merah dan jelas nampak marah.
Aku komat-kamit berdoa supaya pendaki itu segera pergi. Tapi dia masih diam disana, tangannya bertumpu pada trekking pole. Dia kelihatannya sedang mengatur nafasnya yang kembang kempis.
Dua temannya berdiri menunggu tidak jauh diatasnya. Salah seorang berteriak, "tanggung sedikit lagi. Nanti ngecamp di Tanjakan Seruni aja."
Seorang yang lain menambahkan, "udah gw bilang, lebih enak lewat Palutungan kalo naik. Turunnya baru lewat Linggarjati. Lu ngeyel kalo dibilangin."
Pendaki terakhir itu tertawa-tawa kurangajar sambil berkata, "sama ajalah lewat mana aja. Ini emang gunung ngga bener! Semua jalurnya nyusahin! Gunung brengsek!! "
Dalam sekejap suasana berubah. Udara seakan sedingin es.Tangan pucat Nyi Linggi bergerak, tampak mengancam dengan kuku-kukunya yang runcing dan hitam. Sesosok bayangan hitam bergerak cepat dan menabrak pendaki itu yang sama sekali tidak menyadari situasi. Aku menunggu dengan tegang yang akan terjadi. Tapi sosok hitam yang masuk ketubuhnya rupanya tidak langsung menampakkan efeknya, dia masih tertawa-tawa dengan kurangajar.
Dengan jari-jarinya yang panjang, tangan Nyi Linggi terulur sambil dia melangkah ke arah pendaki itu. Aku yang tak mampu bersuara hanya bisa menutup mulutku dengan tangan. Mataku membelalak lebar.
Orang itu yang sejak tadi berdiri didepanku juga bergerak. Kulihat dadanya naik turun dengan cepat, lalu tiba-tiba dia menggeram keras disusul suara auman harimau. Aku berteriak histeris sambil menutup telinga. Suaranya menggelegar bergaung-gaung menembus hutan. Beberapa sosok Kuntilanak terlihat langsung menghilang. Ketiga pendaki itu jelas ikut mendengar auman itu kali ini. Ketiganya dengan panik berlari tunggang-langgang.
Langkah Nyi Linggi terhenti mendengar auman barusan. Tanpa membalikkan tubuhnya, wajahnya berputar menghadap orang itu. Matanya mendelik menakutkan. Sekarang dia bergerak ke arah kami.
Orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri. Badannya sekarang merangkak, jari tangannya menancap ketanah. Kembali terdengar geraman-geraman kecil dari mulutnya.
Aku yang ketakutan semakin merapatkan diri ke pohon dibelakangku. Tanganku gemetaran hebat sambil menutup telinga. Sementara didepanku, orang itu dan Nyi Linggi saling menatap.
Bola mata Nyi Linggi bergerak berpindah-pindah dengan cepat pada orang itu dan aku. Lalu tanpa membuka mulutnya dia mengeluarkan suara yang kering dan dingin...
"Kumakan kalian semua...... ''
Tidak ada angin yang berhembus. Tidak juga bunyi-bunyian hutan. Sekitarku seakan membeku. Aura kemarahan kurasakan sangat menekan. Seluruh persendianku kaku. Aku bahkan tak mampu menoleh sama sekali. Mataku terpaku tanpa mampu berkedip melihat Nyi Linggi melayang turun.
Orang itu masih berdiri ditempatnya, tapi kini dia agak mundur dan bergeser menghalangi pandanganku pada Nyi Linggi. Aura mistis kurasakan semakin menjadi-jadi. Tubuhku menggigil hebat. Bukan hanya aku, tangan orang itu pun kulihat mulai gemetar.
Aku langsung diserang panik. Bagaimana kalau orang itu memilih kabur dan meninggalkanku dengan kaki yang tak mampu digerakkan? Aku merinding. Untuk pasrah pun aku tak mampu. Aku tidak ingin mati ditempat ini.
Kabut tipis terlihat bergerak turun dari tanjakan terjal disebelah kananku, sementara dikiriku entah jalur turun atau jurang, aku tak mampu lagi mengingat aku ada dimana. Arah itu bagai terputus begitu saja ditelan kegelapan rimbunan pohon dan ranting yang saling menyilang.
Sesuatu tergantung terbalik di dahan ranting itu. Kepala dan tangannya terkulai kebawah, wajahnya tertutup rambut, tapi aku merasa matanya menatap lekat ke arahku.
Aku bahkan sudah tak mampu lagi untuk bereaksi. Saat bau pandan tercium semakin kuat, aku sudah nyaris tidak peduli. Mungkin memang hidupku sudah tidak lama lagi.
Tapi mengingat Ayu, aku merasa bersalah karena hampir menyerah. Andai waktu itu aku tak mengajaknya mendaki Ciremai..
Dadaku kembali hangat. Ada setitik semangat yang muncul. Aku sudah sejauh ini. Aku mesti berhasil. Kami berdua harus kembali ke Jakarta, kembali kekehidupan normal kami yang biasa.
Seiring ketenangan yang muncul, kakiku kembali mampu bergerak walau lemah. Perlahan kucoba berdiri. Rupanya itu hanya ketenangan palsu. Kembali aku terjatuh, kakiku terlalu lemah untuk berdiri.
Dengan tangannya yang gemetar, orang itu memberikanku aba-aba untuk diam.
Dengan wajah pucatnya, Nyi Linggi berdiri disana, hanya terpisahkan oleh jalur. Diam mematung. Diatasnya, didahan-dahan pohon kuntilanak-kuntilanak bergerak-gerak dengan ganjil.
Ditengah ketegangan yang memuncak, telingaku mendengar sesuatu. Suaranya berasal dari arah jalur bawah. Mataku membelalak ketika sesuatu itu akhirnya muncul. Itu adalah suara rombongan beberapa pendaki yang naik malam.
Orang yang terdepan nampak membawa carrier ukuran besar, membuat jalannya membungkuk. Dibelakangnya mengekor dua orang lain, jalannya terseok dan tampak kepayahan. Aku tegang menyaksikan mereka melintas pelan diantara orang itu dan Nyi Linggi. Tapi seperti pendaki sebelumnya, mereka pun nampaknya tak melihat kami. Semua mata menatap para pendaki itu. Bola mata Nyi Linggi bergerak mengikuti langkah pendaki terakhir yang tiba-tiba berhenti.
Jantungku mencelos mendengar pendaki itu berteriak memanggil dua temannya, "oii setan, istirahat dulu sebentar. Cape banget gua ini, anjing!"
Dengan takut-takut kuberanikan diri melihat Nyi Linggi. Aku ngeri membayangkan reaksinya mendengar ocehan tidak sopan barusan.
Dengan pelan dan terpatah-patah kulihat wajah Nyi Linggi menoleh ke pendaki itu. Matanya merah dan jelas nampak marah.
Aku komat-kamit berdoa supaya pendaki itu segera pergi. Tapi dia masih diam disana, tangannya bertumpu pada trekking pole. Dia kelihatannya sedang mengatur nafasnya yang kembang kempis.
Dua temannya berdiri menunggu tidak jauh diatasnya. Salah seorang berteriak, "tanggung sedikit lagi. Nanti ngecamp di Tanjakan Seruni aja."
Seorang yang lain menambahkan, "udah gw bilang, lebih enak lewat Palutungan kalo naik. Turunnya baru lewat Linggarjati. Lu ngeyel kalo dibilangin."
Pendaki terakhir itu tertawa-tawa kurangajar sambil berkata, "sama ajalah lewat mana aja. Ini emang gunung ngga bener! Semua jalurnya nyusahin! Gunung brengsek!! "
Dalam sekejap suasana berubah. Udara seakan sedingin es.Tangan pucat Nyi Linggi bergerak, tampak mengancam dengan kuku-kukunya yang runcing dan hitam. Sesosok bayangan hitam bergerak cepat dan menabrak pendaki itu yang sama sekali tidak menyadari situasi. Aku menunggu dengan tegang yang akan terjadi. Tapi sosok hitam yang masuk ketubuhnya rupanya tidak langsung menampakkan efeknya, dia masih tertawa-tawa dengan kurangajar.
Dengan jari-jarinya yang panjang, tangan Nyi Linggi terulur sambil dia melangkah ke arah pendaki itu. Aku yang tak mampu bersuara hanya bisa menutup mulutku dengan tangan. Mataku membelalak lebar.
Orang itu yang sejak tadi berdiri didepanku juga bergerak. Kulihat dadanya naik turun dengan cepat, lalu tiba-tiba dia menggeram keras disusul suara auman harimau. Aku berteriak histeris sambil menutup telinga. Suaranya menggelegar bergaung-gaung menembus hutan. Beberapa sosok Kuntilanak terlihat langsung menghilang. Ketiga pendaki itu jelas ikut mendengar auman itu kali ini. Ketiganya dengan panik berlari tunggang-langgang.
Langkah Nyi Linggi terhenti mendengar auman barusan. Tanpa membalikkan tubuhnya, wajahnya berputar menghadap orang itu. Matanya mendelik menakutkan. Sekarang dia bergerak ke arah kami.
Orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri. Badannya sekarang merangkak, jari tangannya menancap ketanah. Kembali terdengar geraman-geraman kecil dari mulutnya.
Aku yang ketakutan semakin merapatkan diri ke pohon dibelakangku. Tanganku gemetaran hebat sambil menutup telinga. Sementara didepanku, orang itu dan Nyi Linggi saling menatap.
Bola mata Nyi Linggi bergerak berpindah-pindah dengan cepat pada orang itu dan aku. Lalu tanpa membuka mulutnya dia mengeluarkan suara yang kering dan dingin...
"Kumakan kalian semua...... ''
Aku hampir pingsan ketika mendadak sesuatu melintas disampingku. Dari sebelah kiriku berjalan dengan tertatih sosok bungkuk seorang perempuan tua. Aku hampir tak mempercayai mataku, itu adalah ibu tua dari Cibunar. Apakah dia naik sejauh ini untuk menyusulku?
Ibu tua itu melangkah pelan sekali dengan kaki diseret. Kedua tangannya memegangi tongkat kayu untuk membantu jalan. Dia lewat begitu saja tanpa menoleh kearahku.
Dengan lembut dia menyentuh pundak orang itu yang masih menggeram dan tampak memintanya untuk tenang. Orang itu yang sekejap lalu seakan berubah liar perlahan kembali seperti sediakala. Geramannya tak terdengar lagi. Pelan dia mundur ke arahku.
Dari sebelah kananku, berjalan melewati ku, seorang kakek berbaju serba putih. Dikepalanya terlilit sorban yang juga berwarna putih. Kakek ini juga menyentuh pundak orang itu dengan lembut. Kali ini orang itu bahkan langsung mencium tangan kakek itu dengan khidmat.
Nyi Linggi tampak melayang sejengkal dari tanah. Wajahnya yang pucat tampak semakin pucat. Bola matanya bergerak-gerak liar. Sebuah suara terdengar marah.
".... Kalian..... "
Ibu tua itu menatap Nyi Linggi, lalu dengan tenang memperhatikan sekeliling. Kakek putih itu sekarang berdiri di samping si ibu tua. Jubah putihnya tampak bergerak-gerak pelan tertiup angin yang tiba-tiba berhembus pelan.
"Linggi." Ucap si Kakek putih lembut, "ada apa ini Linggi... "
Tanpa membuka mulutnya Nyi Linggi berteriak marah, "jangan ikut campur! Bukan urusan kalian! " Matanya melotot, tapi dia bergerak mundur dengan perlahan, "Anak-anak ini harus mati! "
Aku menggigil mendengarnya. Ancaman itu ditujukan untuk aku dan Ayu. Tatapannya menancap dingin kearahku.
"Linggi, barang siapa membunuh seorang manusia itu sama dengan membunuh seluruh manusia... " Kakek putih itu berkata dengan lembut sambil memutar-mutar tasbih ditangannya.
Sekali lagi suara dingin Nyi Linggi menggelegar, "Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Nyi Linggi tertawa-tawa mengerikan dan disusul sebuah bisikan, "Al-maidah, ayat tiga puluh duaaa... "
Perlahan jarinya yang putih pucat terangkat dan menunjuk tepat kearahku, "anak ini telah berbuat kerusakan." Bisiknya pelan, namun suaranya terdengar jelas, "mati jadi keharusan."
Aku semakin menggigil ketakutan. Sementara Nyi Linggi tertawa-tawa semakin kencang dan terus menerus meneriakkan satu kata : mati..... Mati..... Mati.....
Kedua orang tua itu kudengar mengulang-ulang istighfar sambil tak henti memutar tasbih.
"Manusia tempatnya salah Linggi. Memaafkan akan membuatmu lebih mulia. Maafkanlah kekhilafannya Linggi." Kakek itu berucap pelan.
"Jangan ikut campur!" Bentak Nyi Linggi lagi. Tangannya tiba-tiba menunjuk ke arah kegelapan tempat Kalong wewe menggantung sejak tadi.
Mataku membelalak lebar, tiba-tiba saja wajah Kalong wewe tadi sudah ada didepanku. Tangan kanannya dengan cepat mencekik leher orang itu sementara lidahnya menjilat wajahku. Aku menjerit ngeri melihat belatung begerak-gerak didalam mulutnya.
Secepat kemunculannya, secepat itu juga hilangnya. Sabetan tasbih ibu tua hanya memukul ruang kosong. Kalong wewe itu sudah hilang diiringi suara cekikikan yang membahana dalam kegelapan.
Orang itu terbatuk-batuk hebat sambil memegangi lehernya yang sekarang tampak menghitam. Sementara tubuhku gemetar tak terkendali.
Nyi Linggi melayang mendekat, lalu hilang. Sosoknya muncul dibalik pohon tua itu. Sebentar kemudian hilang. Sosoknya muncul lagi diatas dahan. Hilang. Tapi dia tak pernah muncul terlalu dekat untuk mampu menjamahku. Aku dengan panik mencari-cari setiap dia hilang dan menatap dengan was-was setiap dia muncul. Tapi dimanapun dia muncul, matanya selalu terpaku menatapku tanpa ekspresi.
Suara-suara berbisik dari segala arah menghujani telingaku dengan kata-kata: Mati.. Mati.. Mati. Mati....
Semakin erat kututup telingaku, suara-suara itu justru semakin jelas. Aku yang kalut berteriak-teriak histeris berusaha mengenyahkan suara-suara itu dari kepalaku. Orang itu dengan kasar menarik tanganku yang membekap erat telingaku sambil membentak, "Istighfar! Inget Tuhan! Lu orang Islam bukan?!! "
Mataku membelalak menatap orang itu. Mulutku dengan reflek mengulang-ulang istighfar. Tapi suara-suara di kepalaku justru semakin keras. Aku memukul-mukul kepalaku dengan panik berharap suara itu segera lenyap.
Orang itu kembali membentakku, "istighfar!"
Suaraku bergetar lirih, "Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. "
"Lebih keras!!"
"Astaghfirullah!! Astaghfirullah!!"
Orang itu menampar pipiku dengan kencang sambil berteriak, "LEBIH KERAS!!!"
"ASTAGHFIRULLAHALADZIM!!!!
Orang itu dengan lembut menyentuh bahuku. Dia tersenyum. "Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung."
Airmataku mengalir deras tak mampu kubendung. Bibirku bergetar pelan. Dalam isakku, istighfar terucap secara reflek. Seluruh tubuhku gemetar dengan hebat. Tapi suara-suara itu sudah hilang.
Orang itu menampar pipiku dengan pelan. Senyumnya tersungging menghina,
"Dasar bocah... "
Kakek putih itu maju selangkah mendekati Nyi Linggi yang kini melayang beberapa meter didepannya
"Lepaskan anak ini. Pergilah Linggi, " Suara lembut kakek itu pelan tapi terdengar wibawa. Tangannya tak henti-hentinya memutar tasbih.
Nyi Linggi memiringkan kepalanya memandangi kakek itu dengan tajam, seakan tak mendengar. Dia tersenyum dan terus menerus berkata datar: Mati.. Matii.. Mati...
Aku kembali meremas telingaku ketika tiba-tiba terdengar suara lengkingan yang memekakkan. Sosok menjijikkan Kalong wewe berdiri tak bergerak tepat didepan ibu tua. Tangannya yang penuh borok dan berkuku tajam tergantung diudara. Didepannya dengan mata terpejam, ibu tua tampak berkomat-kamit tanpa suara. Semakin cepat ibu tua itu memutar tasbihnya, makhluk itu menjerit semakin keras. Ketika akhirnya ibu tua itu membuka mata, diiringi jeritan kesakitan makhluk itu terbakar habis menjadi abu.
Nyi Linggi melihat kejadian itu dengan diam. Kemarahan nampak dari tangannya yang bergetar. Aura murkanya meledak dalam keheningan. Perlahan bibirnya yang selama itu tertutup kini pelan-pelan terbuka. Sebuah kalimat yang dia katakan berikutnya langsung membuat kakek putih itu waspada.
"....Nyawa bayar nyawa... "
Kakek putih itu tampak mengatakan sesuatu kepada ibu tua.
Dengan khidmat ibu
tua itu mendengarkan, disusul dengan anggukan. Perlahan dia menoleh pada
orang itu yang sedang memegangi lehernya yang menghitam. Tanpa
mengatakan apapun dia hanya mengangguk, tapi nampaknya orang itu pun
mengerti. Dia memapahku untuk berdiri.
Rupanya kami diminta untuk segera turun dan meninggalkan Kakek putih itu dengan Nyi Linggi.
Sebelum pergi kulihat Ibu tua itu mencium tangan si Kakek. Dengan lembut kakek putih itu menepuk pundaknya. Disusul orang itu yang tidak hanya mencium tangan, tapi juga bersimpuh andai saja tidak ditahan oleh si Kakek. Dan seperti juga kepada Ibu tua, Kakek ini pun menepuk pundak orang itu.
Tinggal aku yang tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku pun mengikuti keduanya, mencium tangan Kakek Putih itu. Tangannya begitu lembut dan harum. Dengan hanya menciumnya membuatku merasa aman.
Sambil membelai rambutku, kudengar dia berbicara pelan, "kamu pulang. Jadikan ini sebagai pelajaran. Jaga tingkah laku dan tutur kata dimanapun kamu berada."
Aku mengangguk pelan. Mendengar kata pulang, tanpa sadar air mataku mengalir. Dia menepuk-nepuk pundakku dan mempersilahkanku untuk pergi.
Terlalu segan untuk menatap wajahnya, dengan menunduk aku menjauh dan mengucapkan salam.
Dengan tertatih aku mengikuti orang itu dan si Ibu tua menuju jalur turun, meninggalkan Kakek dengan Nyi Linggi.
Tidak ada satu pun yang berbicara diantara kami. Dalam gelapnya jalur Ciremai kami melangkah dengan diam.
Aku meraba kantong celanaku, benda pembawa petaka itu masih disana, terbungkus kain putih. Kenapa harus kain putih? Aku bertanya dalam hati. Apa pembalut kotor itu jadi semacam benda gaib atau sejenisnya? Karena yang sekilas kutahu, benda-benda mistis seperti keris, tombak dan sejenisnya biasanya dibungkus dengan kain putih juga.
Tapi apapun itu nanti, yang jelas aku gembira bisa berhasil membawanya turun. Benda ini kunci kesembuhan Ayu.
Dari belakang, aku mengamati punggung bongkok ibu tua itu. Ibu ini merawat Ayu, juga naik untuk menjemputku disaat yang benar-benar kritis. Ternyata dunia belum kekurangan orang baik.
Lalu orang itu. Langkahnya yang biasanya lincah, sekarang berjalan pelan mengikuti langkah ibu tua. Tanpa dia, aku jelas tidak mungkin selamat melewati malam ini. Diluar senyumnya yang menyebalkan dan kata-katanya yang ketus, dia orang baik. Penampilannya yang kumal khas pendaki gunung menyembunyikan ketaatannya beragama. Berkali-kali, malam ini dia selalu mengingatkanku berdoa, beristighfar dan mengingat Allah. Setelah ini selesai, aku janji akan membalas kebaikannya.
Tapi lalu aku menyadari sesuatu yang janggal. Aku naik lagi untuk mengambil kotoran sial itu sebagai syarat kesembuhan Ayu. Kenapa makhluk-mahkluk itu malah menghalangiku? Bukankah seharusnya mereka justru senang. Kenapa mereka malah menerorku sepanjang perjalanan? Bukan hanya teror biasa, mereka berniat mencelakakanku.
Seribu pertanyaan tiba-tiba menyeruak dikepalaku. Malam ini benar-benar tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
Orang itu melirikku, senyumnya tampak jail. "Kapok ya naik Ciremai boy?"
Aku cuma bisa tersenyum ditanya begitu. Kapok? Jelas banget. Bukan cuma Ciremai, sepertinya setelah ini aku pensiun naik gunung
"Jangan lemah boy. Kejadian ini ambil pelajarannya." Katanya lagi. Orang itu seakan bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Bang, terimakasih banyak udah nolongin saya bang." Kataku kali ini, "kalo ngga ada abang, ngga tau gimana nasib saya."
Orang itu tertawa-tawa menyebalkan, tapi aku malah gembira melihat tawanya.
"Lu selamat bukan cuma karena gua boy. Lu juga harus terima kasih ke banyak orang yang nolong lu. Ada Mak Ncep, orang-orang di Cibunar, orangtua lu yang ngga putus do'ain lu dirumah, Ayu, termasuk juga Nyi Linggi. Dan tingkatin ibadah lu sebagai wujud syukur sama yang Maha Besar" Jawab orang itu. Kemudian dia melanjutkan "Ada maksud dari setiap kejadian boy."
"Maksudnya bang?' tanyaku tak mengerti.
"Jangan jadiin ini pelajaran pribadi lu. Ceritain ke temen lu, ceritain ke banyak orang, kalian manusia ngga hidup sendiri. Ada makhluk lain yang berbagi dunia dengan kalian. Berhentilah melakukan kerusakan di bumi."
"Iya bang," Balasku singkat. Kata-katanya barusan terasa meresap di hatiku.
"Oiya bang, tadi Kakek itu siapa bang?" Tanyaku.
Orang itu cuma tersenyum. Tampaknya keingintahuanku tidak akan terjawab dengan mudah.
"Kalong wewe tadi gimana nasibnya bang?" Tanyaku lagi.
"Mati." Jawabnya singkat.
"Bang tadi waktu kita pamitan sama Kakek kenapa Nyi Linggi diem aja, ngga nyerang atau ngapain gitu bang?" Lagi-lagi aku bertanya.
"Bawel lu ya." Jawabnya ketus. Tapi dia tetap menjawab, "mengambil kesempatan disaat orang lengah bukan perbuatan terpuji boy. Emang lu pikir siapa Nyi Linggi? Manusia?"
Aku mengamini jawabannya sekaligus merasa malu. Bahkan makhluk gaib pun punya tatakrama dan sopan santun.
Jalur yang kami lalui mulai terbuka agak lebar dan cenderung datar. Kabut tipis melayang diantara semak dan pepohonan. Aku agak merasa aneh melihat kabut dan kegelapan tanpa kemunculan hantu apapun. Apakah aku jadi terbiasa? Mungkin itulah mengapa orang itu terlihat biasa melihat penampakan segala setan di gunung ini.
Tanpa terasa kami sudah sampai di Condong Amis, tempat pertama kali aku bertemu orang itu. Ibu tua itu berjalan kearah pondokan kosong. Mungkin dia ingin beristirahat sebentar. Kami mengikuti dibelakangnya.
Saat baru saja melepas lelah di pondokan ini tiba-tiba leher dan pipiku bekas cekikan Kalong wewe tadi kembali berdenyut-denyut. Aku mengusap pelan leherku, terasa perih. Tapi rasa sakit itu semakin tak tertahankan.
Orang itu membaringkanku dilantai pondokan. Disampingku ibu tua itu memijit telapak tangan kananku sambil mulutnya berkomat-kamit. Kepalaku mendadak terasa sangat berat.
Kudengar orang itu berbicara padaku. Tak seperti biasanya, suaranya terdengar lembut "...Boy, sering-sering tengokin gua disini ya..."
Kulihat orang itu melepas pin dari carriernya dan meletakkannya ditangan kiriku. Aku hanya bisa menggenggamnya tanpa bisa melihat. Pandanganku mulai kabur. Hal terakhir yang kuingat adalah gema adzan shubuh.
...........
Berkas cahaya matahari tampak menembus jendela saat aku membuka mata. Aku terbangun diatas tempat tidur yang empuk. Disebelahku, dibalik tirai berwarna biru tampak kasur yang kosong. Selang infus tertancap di tubuhku yang terhubung dengan plastik berisi cairan yang menetes pelan ditiang disamping tempatku berbaring. Aku berada di rumah sakit.
Pintu terbuka, dan kulihat wajah Ayu lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun.
Dia mendekat dan langsung memelukku sambil menangis. Kudengar dia meminta maaf berkali-kali sambil terus menangis. Aku ingin balas memeluknya, tapi tanganku terlalu lemah untuk digerakkan.
"Lu udah nggak apa-apa yu?" Tanyaku. Dia mengangguk sambil mengusap airmata.
"Maafin gua ya di. Gara-gara gua lu jadi begini." Dia meminta maaf lagi.
Aku tersenyum sambil mengangguk. ''Yang penting kita selamat." Kataku, "siapa yang bawa gua kesini yu?"
"Ngga tau juga di. Gua juga bangun-bangun udah disini" Jawab Ayu.
Aku teringat lagi sosok Ibu tua. Diam-diam aku sungguh berterimakasih. Juga orang itu. Pasti dia yang susah payah membawaku turun dari Condong Amis sampai Cibunar, lalu kesini.
Lalu aku teringat dia memberikanku sesuatu sebelum aku pingsan.
"Yu, liat pin yang gua pegang ga pas gw pingsan?" Tanyaku.
"Oh ada. Bentar ya." Katanya. Dia lalu membuka tutup kepala carrier, mengambil benda yang kutanyakan, lalu memberikannya padaku.
Aku menerimanya. Benar itu sebuah pin. Malam itu aku tak bisa melihat apa yang tercetak di pin ini saat pertama kali bertemu orang itu karena terlalu gelap.
Aku memperhatikan gambar yang tercetak disana. Tampaknya sebuah logo. Gambar cicak dan gunung, tulisan dibawahnya berwarna kuning sudah agak pudar tapi masih terbaca olehku: Edge Mountain.
Entah apa artinya. Tapi pin ini akan kujaga selamanya sebagai pengingat untuk malam yang penuh teror di Ciremai.
Aku teringat sesuatu. Kuraba kantong celanaku. Kosong. Benda sial itu rupanya sudah hilang. Aku membayangkan ritual-ritual gaib dilakukan pada benda kotor itu untuk menyembuhkan Ayu.
"Bekas pembalut lu yang didalam kain putih itu sekarang dimana yu?" Tanyaku karena tetap penasaran.
Ayu agak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Ohh.. Udah dibuang ditempat sampah."jawabnya.
Sejujurnya aku sedikit kecewa mendengarnya. Tapi memang itu hal yang paling logis. Tempat buat kotoran memang hanya tempat sampah.
Raut terkejut masih terbaca di wajah Ayu. Dia lalu bertanya, " Kok lu bisa tau tentang pembalut di kain putih di? Kan selama ini lu pingsan."
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Teringat berapa horrornya perjalanan malam itu demi mengambil lagi benda sialan tadi. Ada rasa bangga dan sedikit merasa jadi pahlawan karena bagaimanapun aku berhasil menyelamatkan Ayu.
Lalu pertanyaan Ayu yang buatku terdengar agak konyol dan lucu, kok gua bisa tau tentang pembalut di kain putih? Ingin rasanya menepuk dada dan menceritakan semuanya.
Wajah terkejut Ayu masih belum hilang, dan matanya tampak penasaran. Lalu sebuah senyum mengembang diwajahnya, dia lalu berkata, "padahal selama ini lu pingsan di. Tapi ya sudahlah, setelah malam itu kayaknya gua ngga bakal kaget kalo denger hal-hal aneh lagi."
Dan dia meneruskan, "nanti deh gua ceritain perjalanan gua ngambil pembalut itu malem-malem di Ciremai. Nanti gua ceritain tentang Nyi Linggi, Kalong wewe, abang Moka. Eh nanti kapan-kapan kita kesini lagi ya. Mak Ncep terus-terusan ngerawat dan ngejaga lu selama lu pingsan dan kesurupan. Kita banyak utang budi sama dia"
Sekarang giliran aku yang terkejut......
(End)
Rupanya kami diminta untuk segera turun dan meninggalkan Kakek putih itu dengan Nyi Linggi.
Sebelum pergi kulihat Ibu tua itu mencium tangan si Kakek. Dengan lembut kakek putih itu menepuk pundaknya. Disusul orang itu yang tidak hanya mencium tangan, tapi juga bersimpuh andai saja tidak ditahan oleh si Kakek. Dan seperti juga kepada Ibu tua, Kakek ini pun menepuk pundak orang itu.
Tinggal aku yang tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku pun mengikuti keduanya, mencium tangan Kakek Putih itu. Tangannya begitu lembut dan harum. Dengan hanya menciumnya membuatku merasa aman.
Sambil membelai rambutku, kudengar dia berbicara pelan, "kamu pulang. Jadikan ini sebagai pelajaran. Jaga tingkah laku dan tutur kata dimanapun kamu berada."
Aku mengangguk pelan. Mendengar kata pulang, tanpa sadar air mataku mengalir. Dia menepuk-nepuk pundakku dan mempersilahkanku untuk pergi.
Terlalu segan untuk menatap wajahnya, dengan menunduk aku menjauh dan mengucapkan salam.
Dengan tertatih aku mengikuti orang itu dan si Ibu tua menuju jalur turun, meninggalkan Kakek dengan Nyi Linggi.
Tidak ada satu pun yang berbicara diantara kami. Dalam gelapnya jalur Ciremai kami melangkah dengan diam.
Aku meraba kantong celanaku, benda pembawa petaka itu masih disana, terbungkus kain putih. Kenapa harus kain putih? Aku bertanya dalam hati. Apa pembalut kotor itu jadi semacam benda gaib atau sejenisnya? Karena yang sekilas kutahu, benda-benda mistis seperti keris, tombak dan sejenisnya biasanya dibungkus dengan kain putih juga.
Tapi apapun itu nanti, yang jelas aku gembira bisa berhasil membawanya turun. Benda ini kunci kesembuhan Ayu.
Dari belakang, aku mengamati punggung bongkok ibu tua itu. Ibu ini merawat Ayu, juga naik untuk menjemputku disaat yang benar-benar kritis. Ternyata dunia belum kekurangan orang baik.
Lalu orang itu. Langkahnya yang biasanya lincah, sekarang berjalan pelan mengikuti langkah ibu tua. Tanpa dia, aku jelas tidak mungkin selamat melewati malam ini. Diluar senyumnya yang menyebalkan dan kata-katanya yang ketus, dia orang baik. Penampilannya yang kumal khas pendaki gunung menyembunyikan ketaatannya beragama. Berkali-kali, malam ini dia selalu mengingatkanku berdoa, beristighfar dan mengingat Allah. Setelah ini selesai, aku janji akan membalas kebaikannya.
Tapi lalu aku menyadari sesuatu yang janggal. Aku naik lagi untuk mengambil kotoran sial itu sebagai syarat kesembuhan Ayu. Kenapa makhluk-mahkluk itu malah menghalangiku? Bukankah seharusnya mereka justru senang. Kenapa mereka malah menerorku sepanjang perjalanan? Bukan hanya teror biasa, mereka berniat mencelakakanku.
Seribu pertanyaan tiba-tiba menyeruak dikepalaku. Malam ini benar-benar tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
Orang itu melirikku, senyumnya tampak jail. "Kapok ya naik Ciremai boy?"
Aku cuma bisa tersenyum ditanya begitu. Kapok? Jelas banget. Bukan cuma Ciremai, sepertinya setelah ini aku pensiun naik gunung
"Jangan lemah boy. Kejadian ini ambil pelajarannya." Katanya lagi. Orang itu seakan bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Bang, terimakasih banyak udah nolongin saya bang." Kataku kali ini, "kalo ngga ada abang, ngga tau gimana nasib saya."
Orang itu tertawa-tawa menyebalkan, tapi aku malah gembira melihat tawanya.
"Lu selamat bukan cuma karena gua boy. Lu juga harus terima kasih ke banyak orang yang nolong lu. Ada Mak Ncep, orang-orang di Cibunar, orangtua lu yang ngga putus do'ain lu dirumah, Ayu, termasuk juga Nyi Linggi. Dan tingkatin ibadah lu sebagai wujud syukur sama yang Maha Besar" Jawab orang itu. Kemudian dia melanjutkan "Ada maksud dari setiap kejadian boy."
"Maksudnya bang?' tanyaku tak mengerti.
"Jangan jadiin ini pelajaran pribadi lu. Ceritain ke temen lu, ceritain ke banyak orang, kalian manusia ngga hidup sendiri. Ada makhluk lain yang berbagi dunia dengan kalian. Berhentilah melakukan kerusakan di bumi."
"Iya bang," Balasku singkat. Kata-katanya barusan terasa meresap di hatiku.
"Oiya bang, tadi Kakek itu siapa bang?" Tanyaku.
Orang itu cuma tersenyum. Tampaknya keingintahuanku tidak akan terjawab dengan mudah.
"Kalong wewe tadi gimana nasibnya bang?" Tanyaku lagi.
"Mati." Jawabnya singkat.
"Bang tadi waktu kita pamitan sama Kakek kenapa Nyi Linggi diem aja, ngga nyerang atau ngapain gitu bang?" Lagi-lagi aku bertanya.
"Bawel lu ya." Jawabnya ketus. Tapi dia tetap menjawab, "mengambil kesempatan disaat orang lengah bukan perbuatan terpuji boy. Emang lu pikir siapa Nyi Linggi? Manusia?"
Aku mengamini jawabannya sekaligus merasa malu. Bahkan makhluk gaib pun punya tatakrama dan sopan santun.
Jalur yang kami lalui mulai terbuka agak lebar dan cenderung datar. Kabut tipis melayang diantara semak dan pepohonan. Aku agak merasa aneh melihat kabut dan kegelapan tanpa kemunculan hantu apapun. Apakah aku jadi terbiasa? Mungkin itulah mengapa orang itu terlihat biasa melihat penampakan segala setan di gunung ini.
Tanpa terasa kami sudah sampai di Condong Amis, tempat pertama kali aku bertemu orang itu. Ibu tua itu berjalan kearah pondokan kosong. Mungkin dia ingin beristirahat sebentar. Kami mengikuti dibelakangnya.
Saat baru saja melepas lelah di pondokan ini tiba-tiba leher dan pipiku bekas cekikan Kalong wewe tadi kembali berdenyut-denyut. Aku mengusap pelan leherku, terasa perih. Tapi rasa sakit itu semakin tak tertahankan.
Orang itu membaringkanku dilantai pondokan. Disampingku ibu tua itu memijit telapak tangan kananku sambil mulutnya berkomat-kamit. Kepalaku mendadak terasa sangat berat.
Kudengar orang itu berbicara padaku. Tak seperti biasanya, suaranya terdengar lembut "...Boy, sering-sering tengokin gua disini ya..."
Kulihat orang itu melepas pin dari carriernya dan meletakkannya ditangan kiriku. Aku hanya bisa menggenggamnya tanpa bisa melihat. Pandanganku mulai kabur. Hal terakhir yang kuingat adalah gema adzan shubuh.
...........
Berkas cahaya matahari tampak menembus jendela saat aku membuka mata. Aku terbangun diatas tempat tidur yang empuk. Disebelahku, dibalik tirai berwarna biru tampak kasur yang kosong. Selang infus tertancap di tubuhku yang terhubung dengan plastik berisi cairan yang menetes pelan ditiang disamping tempatku berbaring. Aku berada di rumah sakit.
Pintu terbuka, dan kulihat wajah Ayu lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun.
Dia mendekat dan langsung memelukku sambil menangis. Kudengar dia meminta maaf berkali-kali sambil terus menangis. Aku ingin balas memeluknya, tapi tanganku terlalu lemah untuk digerakkan.
"Lu udah nggak apa-apa yu?" Tanyaku. Dia mengangguk sambil mengusap airmata.
"Maafin gua ya di. Gara-gara gua lu jadi begini." Dia meminta maaf lagi.
Aku tersenyum sambil mengangguk. ''Yang penting kita selamat." Kataku, "siapa yang bawa gua kesini yu?"
"Ngga tau juga di. Gua juga bangun-bangun udah disini" Jawab Ayu.
Aku teringat lagi sosok Ibu tua. Diam-diam aku sungguh berterimakasih. Juga orang itu. Pasti dia yang susah payah membawaku turun dari Condong Amis sampai Cibunar, lalu kesini.
Lalu aku teringat dia memberikanku sesuatu sebelum aku pingsan.
"Yu, liat pin yang gua pegang ga pas gw pingsan?" Tanyaku.
"Oh ada. Bentar ya." Katanya. Dia lalu membuka tutup kepala carrier, mengambil benda yang kutanyakan, lalu memberikannya padaku.
Aku menerimanya. Benar itu sebuah pin. Malam itu aku tak bisa melihat apa yang tercetak di pin ini saat pertama kali bertemu orang itu karena terlalu gelap.
Aku memperhatikan gambar yang tercetak disana. Tampaknya sebuah logo. Gambar cicak dan gunung, tulisan dibawahnya berwarna kuning sudah agak pudar tapi masih terbaca olehku: Edge Mountain.
Entah apa artinya. Tapi pin ini akan kujaga selamanya sebagai pengingat untuk malam yang penuh teror di Ciremai.
Aku teringat sesuatu. Kuraba kantong celanaku. Kosong. Benda sial itu rupanya sudah hilang. Aku membayangkan ritual-ritual gaib dilakukan pada benda kotor itu untuk menyembuhkan Ayu.
"Bekas pembalut lu yang didalam kain putih itu sekarang dimana yu?" Tanyaku karena tetap penasaran.
Ayu agak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Ohh.. Udah dibuang ditempat sampah."jawabnya.
Sejujurnya aku sedikit kecewa mendengarnya. Tapi memang itu hal yang paling logis. Tempat buat kotoran memang hanya tempat sampah.
Raut terkejut masih terbaca di wajah Ayu. Dia lalu bertanya, " Kok lu bisa tau tentang pembalut di kain putih di? Kan selama ini lu pingsan."
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Teringat berapa horrornya perjalanan malam itu demi mengambil lagi benda sialan tadi. Ada rasa bangga dan sedikit merasa jadi pahlawan karena bagaimanapun aku berhasil menyelamatkan Ayu.
Lalu pertanyaan Ayu yang buatku terdengar agak konyol dan lucu, kok gua bisa tau tentang pembalut di kain putih? Ingin rasanya menepuk dada dan menceritakan semuanya.
Wajah terkejut Ayu masih belum hilang, dan matanya tampak penasaran. Lalu sebuah senyum mengembang diwajahnya, dia lalu berkata, "padahal selama ini lu pingsan di. Tapi ya sudahlah, setelah malam itu kayaknya gua ngga bakal kaget kalo denger hal-hal aneh lagi."
Dan dia meneruskan, "nanti deh gua ceritain perjalanan gua ngambil pembalut itu malem-malem di Ciremai. Nanti gua ceritain tentang Nyi Linggi, Kalong wewe, abang Moka. Eh nanti kapan-kapan kita kesini lagi ya. Mak Ncep terus-terusan ngerawat dan ngejaga lu selama lu pingsan dan kesurupan. Kita banyak utang budi sama dia"
Sekarang giliran aku yang terkejut......
(End)
Akan Rilis segera teror digunung Ciremai versi Ayu..