Aku
berusaha tak ingin mendengarkan, tapi suara yang memanggil-manggil
namaku itu terus menerus menggema, seakan menempel di telingaku.
Melihat yang lain menutup telinga dengan kedua tangan, kuyakin mereka
juga mendengar hal yang sama. Aku menoleh ke belakang mencoba melihat
Bang Idan. Nampaknya hanya dia yang tidak terpengaruh, karena masih
terus berjalan tanpa ekspresi di wajahnya.
"Fokus ke depan Dek," Katanya padaku, "jangan cerita apa-apa, jangan dengerin apa-apa.''
Aku mengangguk mengiyakan. Tapi sulit sekali fokus saat kelelahan dan
dicengkram ketakutan seperti ini. Sebelah kananku adalah hutan. Segala
penampakan ada disetiap pohon disana. Sementara sebelah kiriku adalah
jurang. Suara-suara meneror kami dari dasar jurang itu.
Didepan
kudengar suara berdebam. Rupanya Yuni terjatuh, mungkin kakinya tak
sengaja tersangkut akar. Lalu kudengar dia berteriak histeris. Aku ikut
berteriak saat melihat yang membuatnya terjatuh bukanlah akar, melainkan
sepotong tangan. Bang Amran dengan cepat menarik tangan Yuni,
memaksanya bergerak. Berikutnya kudengar Ale dan Anes yang berteriak
ketakutan di belakangku. Aku tak berani menoleh kebelakang.
Saat aku sedang fokus melihat ke bawah menatap kakiku sendiri yang
sedang berjalan, tiba-tiba ada sebuah kepala yang menggelinding dan tak
sengaja tertendang. Kali ini aku yang berteriak dengan kencang.
Setiap kali kudengar teman-temanku berteriak. Entah apa yang mereka
alami, aku tak ingin tahu. Penghuni Gunung Dempo ini seakan berkumpul
dan bergantian mengganggu kami. Tampaknya kami tidak akan dibiarkan
tenang walau sekejap.
Belum jauh berjalan, giliran aku yang
kembali berteriak karena sebuah tangan menangkapku dari balik dahan
pohon yang menjuntai ke jalur. Dengan cepat aku melepaskan diri sambil
berteriak dan beristighfar. Kulihat teman yang lain tak bereaksi
mendengarku berteriak, mereka pastinya juga diteror masing-masing.
Lalu sepasang tangan besar dan hitam mencengkram kakiku. Kembali aku
berteriak histeris sambil berusaha melepaskan diri seperti tadi. Tapi
semakin ku berusaha, cengkraman tangan itu malah semakin kuat, membuatku
semakin histeris.
Bang Idan--lagi-lagi Bang Idan menjadi dewa penolongku--berlari dan langsung memeluk dan menenangkanku.
"Tenang Dek, tenang. Istighfar." Katanya.
Tapi cengkraman di kakiku tetap tidak hilang, justru semakin kuat menekanku.
"Ada tangan Bang di kakiku. Kakiku dipegangnya Bang." Aku merintih sakit dan ketakutan.
Lalu Bang Idan dan dua teman lain berjongkok berusaha melepaskan
kakiku. Aku hampir tak percaya apa yang kulihat, yang sedetik lalu
adalah sepasang tangan hitam, sekarang ternyata akar pohon yang membelit
kakiku.
"Kek mana ceritanya kakimu bisa masuk akar begini.. "
Kudengar Anes bertanya. Dia merasa heran karena kakiku terjepit dua akar
yang saling mengait. Akhirnya setelah lama berusaha, tiga orang itu
berhasil membebaskan kakiku dari akar hitam itu.
Setelah kakiku
bebas, suara tawa cekikikan menggema di mana-mana. Kami berpandangan,
sorot-sorot mata panik jelas tergambar di mata kami.
Aku sangat
berterima kasih pada teman-teman perjalananku. Jujur, aku takut mereka
putus asa jika gagal melepaskan kakiku dari akar dan meninggalkanku
sendiri.
Kami saling menepuk bahu dan mengangguk, mencoba
saling menguatkan tanpa kata-kata. Tapi belum jauh kami berjalan,
tiba-tiba Yuni berteriak kencang menyuruh kami tiarap.
"Tiaraaaaaaappppp....!!!" Teriak Yuni histeris.
Kami serempak menjatuhkan diri ke tanah. Hembusan angin yang besar
lewat diatas badan kami, tapi aku sama sekali tak melihat apapun.
"Aa... ada mahkluk hitam ttt.. ttadi.. " Yuni tergagap, tak lama dia mulai menangis.
"Udah Yun, diem dulu jangan cerita." Kata Bang Idan.
"Makhluk it... Itu.. Mengincar Bang Amran." Yuni seperti tak mendengar himbauan Bang Idan.
Bang Amran yang namanya disebut menelan ludah, wajahnya pucat pasi. "Kamu pikir begitu Yun?" Tanya Bang Amran.
"Iya bang," Jawab Yuni, lalu menambahkan, "makhluk itu sejak tadi
mengikuti kita, matanya selalu menatap Bang Amran. Dia mengincar Bang
Amran."
Kami semua menatap Bang Amran, lalu kemudian saling
bertatapan satu sama lain. Raut-raut ketakutan tergambar jelas di wajah
kami. Omongan Yuni barusan membuat jantungku semakin merasa
diremas-remas. Penghuni Dempo bukan cuma berniat menganggu, tapi berniat
mencelakakan kami.
"Makhluk itu juga yang tadi menarik kaki Alpin." Tambah Yuni, "tadi aku lihat dia sembunyi dibalik pohon.''
Sekarang giliran aku yang pucat. "Memang bukan akar kan Yun? Aku juga lihat tangan hitam yang tadi narik kakiku."
Yuni mengangguk, "tadi aku mau kasih tau, tapi udah terlambat."
Mendengar obrolanku dan Yuni kami semua serentak beristighfar dengan pelan.
"Sudah.. Sudah jangan dipikirkan. Kita lanjut lagi dan fokus dan jangan
sampai terpisah. Kita harus cepat. Kita pasti selamat. Percayalah, kita
punya Tuhan!" Bang Idan memotong obrolan kami agar tidak semakin jauh.
Kami semua menurut.
Kami tarik nafas panjang untuk menenangkan
diri, lalu mulai berjalan lagi. Sambil berjalan itu, aku yang masih
penasaran bertanya lagi pada Yuni. "Yun, jadi kamu tadi benar lihat kan
yang narik aku? Aku beneran ngga bohong tadi itu yun. Tadi tangan Yun,
bukan akar.''
"Iya. Makhluk itu tadi pin, aku lihat, mau bilang tapi sudah terlambat." Jawab Yuni.
Ale yang berjalan di belakangku ikut nimbrung, "kalo aku nda liat
tangan, Pin. Tapi aku liat diatas pohon ada monyet besar banget, matanya
merah. Dia ngikutin kita terus, tapi aku ngga berani ngomong. Takut
dibilang halusinasi."
Dari belakang Bang Idan berteriak
membentak kami, "cukup!! Ngga usah cerita ini itu!! Sekarang fokus aja
jalan biar cepet selamat! Berdoa bukan cerita!!"
Kami bertiga
langsung menciut dan kembali jalan. Dan suara-suara gaib kembali
terdengar saat kami semua diam. Di balik semak jelas ku dengar suara
langkah kaki, juga tawa dan tangisan. Kadang suara ranting patah lalu
geraman-geraman yang berat. Namun yang paling mengganggu adalah
suara-suara dari jurang yang memanggil setiap nama kami berulang-ulang.
"Fokus!'' kata Bang Idan, tegas, " Yang dipanggil jangan noleh!"
Bang Idan benar. Kami yang hanya fokus pada nafas yang mulai habis
karena lelah akhirnya tak mendengar suara apapun lagi, baik dari hutan
atau dari jurang di kiri kami. Begitu juga dengan segala penampakan,
tiba-tiba hilang begitu saja.
Hampir selama setengah jam kami
berjalan dengan tenang tanpa ada gangguan apapun ketika tiba-tiba Anes
di belakangku berteriak kencang.
"PUJI TUHAN! PUJI TUHAN! TUHAN YESUS SELAMATKAN KAMI!!' Anes histeris, matanya melotot memandang sesuatu di arah depan.
Bang Idan dengan sigap memeluk dan langsung mendudukkan Anes yang terus
menerus melotot dan tangannya menunjuk sesuatu yang tak bisa kami
lihat.
"Tenang Nes. Tenang. Doa menurut keyakinanmu." Kata bang Idan.
Kami mengelilingi Anes yang histeris. Tubuhnya menggigil ketakutan.
"Kenapa Nes?" Tanya Bang Amran.
"Jangan jalan Bang! Jangan jalan. Didepan ada Harimau Bang. Sepasang harimau!" Anes kini mulai menangis.
Kami semua menatap arah yang ditunjuk Anes, tapi tidak ada apapun.
Hanya Anes yang bisa melihat harimau yang dimaksud. Disebelah Anes, Yuni
mulai ikut menangis sambil berdoa. Wajah Anes basah oleh peluh,
lehernya tampak kaku dengan pandangan lurus ke depan.
"Ayo Nes, jalan lagi." Pinta Bang Idan lembut.
"Jangan Bang, jangan. Harimau Bang." Anes menolak untuk berdiri.
Lalu penampakan dan ketawa cekikikan membahana lagi seakan mengejek.
Suara panggilan dari jurang juga merangkak naik memanggil-manggil Anes.
"Anes.....Anes... Anes... "
"Jangan Noleh Nes." Kata Bang Idan, sambil menghalangi pandangan Anes ke arah jurang.
Tapi fokus Anes tak teralihkan. Dia masih terus menatap ngeri ke arah
depan. Diantara isak tangisnya, berkali-kali dia mengulang kata yang
sama.
"Harimau......... Harimau.... "
Setelah
beberapa saat, Anes dan Yuni kembali tenang. Nafas Anes juga mulai
teratur. Dan ketika Bang Idan mengajak untuk bergerak, Anes menurut.
Kami berasumsi sepasang harimau yang dilihat Anes sudah pergi.
"Rapatkan jarak. Jangan terlalu jauh." Perintah Bang Idan.
Bang Amran yang paling depan kembali berjalan, disusul Yuni, aku, Ale, Anes dan Bang Idan. Kami berjalan dengan lebih rapat.
Lalu tiba-tiba kami semua bertabrakan. Rupanya Bang Amran berhenti
mendadak. Dia tampak tertarik dengan sebuah daun keladi hutan yang
bergerak-gerak sendiri. Dengan santai dia diam memperhatikan sambil
menyoroti daun yang bergerak ganjil itu dengan senter.
Seperti
yang bisa kuduga, suara Bang Idan kembali terdengar, "Am, kenapa
berhenti? Ngapain nyenterin daun keladi? Biarkan aja itu Am! Kalo mau
istirahat, matiin aja senternya, hemat Am!"
Tapi Bang Amran
seakan tak menggubris pertanyaan Bang Idan Dia terus saja menyenteri
daun itu. Kami semua saling berpandangan, tak tahu harus bagaimana. Lalu
pelan-pelan Bang Amran berbalik ke arah kami, sebuah senyuman aneh
tersungging di bibirnya. Dia menatap kami satu persatu, lalu tawanya
pecah dengan keras.
Kami semua reflek mundur, ketakutan. Bang
Amran masih terus tertawa terbahak-bahak sambil terus bergantian menatap
kami. Lalu dengan suara keras dia menyanyikan reff sebuah lagu yang
sedang ramai diputar di radio.
"Andaaaaaai di pisaaaaah! Andaiii dipisaaah!"
Bang Idan langsung maju, tapi Bang Amran melompat mundur sambil terus
bernyanyi dan tertawa. Dan seperti bukan gerakan manusia, tiba-tiba saja
Bang Amran melompat ke pohon terdekat. Bang Idan bergerak cepat
menariknya dan menenangkannya.
Kami kembali dicekam ketakutan dan mulai menangis melihat dua orang yang kami tuakan sedang bergumul.
Ketika akhirnya Bang Amran mulai tenang, kami berinisiatif membantu
memegangi tubuhnya. Kekhawatiranku adalah jika Bang Amran melompat ke
jurang di sisi kiri kami. Walau sudah tak bergerak, tapi Bang Amran tak
berhenti tertawa dan bernyanyi sambil terus-terusan memelototi kami.
Sesekali dia mengomel dengan bahasa Jawa, lain waktu dia menangis
seperti perempuan.
"Semua doa," Perintah Bang Idan, "Nes, Yun, kamu juga berdoa menurut caramu."
Tidak ada satu pun dari kami yang mengerti cara menghadapi orang
kesurupan. Yang bisa kulakukan hanya istighfar tanpa henti. Kudengar
Anes dan Yuni juga mengulang-ulang doa yang sama, memohon pertolongan
pada Tuhan Yesus.
Dan seperti sebelumnya, tiap kali ada
kejadian, sekeliling kami riuh dengan berbagai suara dan tawa cekikikan
seakan mengejek. Aku sempat melihat sekilas ke pohon besar di belakang
kami, tapi aku langsung membuang muka. Disana berkumpul banyak
Kuntilanak, pocong dan genderuwo.
Sadar karena tak bisa
berlama-lama ditempat seperti ini, Bang Idan memegangi Bang Amran dan
mulai berjalan lagi. Senter diserahkan pada Anes yang terpaksa berjalan
paling belakang.
Beberapa kali Bang Amran tersadar dan bertanya pada Bang Idan, "heh kenapa aku Das?"
Tapi tak lama, dia mulai kesurupan lagi. Matanya kembali melotot dan
marah-marah menebarkan ancaman, bahwa kami tak akan bisa selamat dari
gunung ini. Sesekali dia juga berkata dengan marah.
"TINGGALKAN! TINGGALKAN!! KALIAN HARUS TINGGALKAN DISINI!! "
Tapi kami tak mengerti maksudnya, apa yang ditinggalkan? Atau siapa
yang ditinggalkan? Bang Idan memberi kode agar kami mengabaikan saja
ocehan Bang Amran. Ucapan itu dia ulang terus, tapi kami tak
menghiraukannya.
Tak lama berjalan, kami tiba di sebuah tempat
yang lumayan datar di bawah sebuah pohon. Tempat datar itu kira-kira
sekitar satu meter persegi. Disitu kami beristirahat lagi.
Sesungguhnya aku tak tega pada Bang Idan. Sambil terus menjaga kami dia
juga dengan ketat memegangi Bang Amran yang selalu memberontak sambil
marah-marah. Tapi keadaannya memang sungguh berbahaya, tidak perlu
melompat ke jurang di sisi kiri, jatuh di turunan-turunan ekstrim ini
pun akan fatal akibatnya.
Ditempat istirahat ini Bang Idan
memejamkan matanya sambil tangannya terus merangkul Bang Amran. Aku
mendekati Ale yang sejak tadi hanya diam dan mengajaknya ngobrol.
"Le, maksud Bang Amran apa ya teriak-teriak 'tinggalkan' itu?" Tanyaku pada Ale.
Tapi Ale seakan tidak mendengar pertanyaanku. Matanya menatap kosong
pada satu titik dibelakang pohon. Jari tangannya saling menggenggam
dengan erat dan dililit menggunakan syal.
Aku mengulangi lagi
pertanyaanku karena kupikir Ale tak mendengar, "Le, kamu tak dengar kah?
Aku tadi tanya, Kira-kira apa maksud Bang Amran bilang 'tinggalkan
tinggalkan' itu? "
Kali ini Ale menatap mataku. Wajahnya seputih mayat, bibirnya gemetar.
"Pin, aku takut sekali Pin." Suaranya terdengar bergetar saking takutnya.
"Ada apa, Le?" Tanyaku.
"Itu si Monyet besar itu dari tadi terus mengintai kita Pin."
"Monyet apa Le? Makhluk yang tadi cengkram kakiku?" Tanyaku sambil
pandanganku menyapu hutan berkabut di sisi kananku, mencari keberadaan
makhluk yang Ale maksud.
"Bukan, Pin. Beda. Dia udah ngikutin
kita dari atas. Matanya merah menyala, badannya besar berbulu." Jawab
Ale setengah berbisik, ''dia terus-terusan ngomong ke aku, Pin. Aku
takut, Pin."
"Ngomong apa dia, Le?" Tanyaku penasaran.
Mata Ale terlihat semakin ketakutan, wajahnya kian pucat. "Dia bilang:
cepat dorong temanmu itu. Cepat dorong temanmu itu." Jawab Ale, "begitu
terus menerus, Pin. Aku takut dikuasainya dan kesurupan kayak Bang
Amran, makanya ku ikat tanganku ini."
"Siapa yang didorong maksudnya, Le?" Tanyaku lugu.
"Kamu, Pin."
Sekarang aku yang ketakutan setengah mati.
"Yang benar, Le?" Tanyaku memastikan.
"Bener, Pin. Demi Allah demi Rasullulah! Aku benar-benar takut, Pin."
Tiba-tiba Bang Idan membuka matanya dan menghardik kami berdua. "Heh, ngomong apa kalian?!"
Lalu Ale menjelaskan yang sebelumnya sudah dia ceritakan padaku. Bang
Idan mendengarkan dengan serius. Alis matanya bertaut, dia tampak kesal.
Setengah berteriak dia bertanya ke Ale.
"Mana makhluk itu?! Tunjuk, Le!!"
Dengan ketakutan Ale menunjuk sebuah titik dibelakang pohon besar. Bang
Idan menyenteri tempat itu, tapi tidak ada yang terlihat.
"Bener omonganmu itu, Le?!" Tanya Bang Idan lagi.
Ale mengangguk pelan. Nafas Bang Idan naik turun. Nampaknya dia semakin
muak dengan keadaan ini. Lalu dia meminta kami berdiri dan mulai
bergerak lagi. Bang Idan mengambil tangan Bang Amran dan mulai
memapahnya lagi. Bang Amran terus ngoceh sendiri dalam bahasa yang kami
tak mengerti. Satu-satunya yang kumengerti adalah jika dia mulai
mengulangi lagi kalimat: Tinggalkan. Tinggalkan saja dia disini.
Tapi kali ini ucapan itu ditimpali Bang Idan dengan emosi.
"NGGA ADA YANG DITINGGALKAN DISINI!!"
Kami semua menciut mendengar Bang Idan mulai emosi. Aku yang tadinya
mau menanyakan sesuatu pada Ale terpaksa mengurungkan niatku.
Semakin turun ke bawah, kabut semakin pekat. Kami kembali merapatkan
posisi, khawatir akan terpisah di tengah kabut. Kuntilanak-kuntilanak
masih berjejeran di pohon-pohon. Aku berdoa semoga mereka tetap seperti
itu pada kami, jangan pernah mendekat.
Kami terus turun dalam
diam. Tubuhku rasanya sudah remuk akibat kelelahan, juga lapar dan haus.
Setelah berjalan selama beberapa lama, kami tiba di sebuah tempat yang
lumayan rata di bawah sebuah pohon. Disitu Bang Idan meminta kami
kembali beristirahat.
Aku celingak-celinguk melihat tempat kami beristirahat, lalu mendekati Bang Idan.
"Bang, ini bukannya tempat yang tadi?" Tanyaku takut-takut.
"Jangan ngawur! Ngga ada itu!" Sembur Bang Idan, "kita udah jalan turun lama tadi. Jangan ngawur!"
Aku tidak berani membantah Bang Idan. Tapi aku yakin, ini tempat tadi
kami beristirahat. Baru saja aku hendak bertanya pada Ale, kami
mendengar Anes berteriak-teriak histeris. Tangannya mengibas-ibas ke
udara .
"PERGI! PERGI!! TUHAN YESUS, TOLONG AKU!! PERGIII...!!"
Kami semua terperangah melihat Anes dengan panik menepuk-nepuk udara kosong. Apakah kali ini Anes yang kesurupan?
"Nes! Ada apa Nes?" Tanyaku setengah berteriak padanya.
Tak kusangka dia menjawab, walau masih terus memukul dan menendang-nendang udara kosong.
"Tolong, Pin! Aku mau dibawa kuntilanak!!"
******Bersambung