Part 2.
Bajuku
basah oleh keringat. Kakiku mulai nyeri.
Semakin keatas jalur yang
harus kami lalui semakin curam. Tanjakan-tanjakan ini seakan tidak
berakhir. Orang itu seringkali harus berhenti untuk menungguku yang
mulai megap-megap kehabisan nafas. Jika sudah begitu dia biasanya hanya
merokok dan melihatku dengan sebal.
Aku sudah hampir tak peduli dengan harimau dikanan kiriku, atau kalong wewe yang pastinya sedang mengawasiku entah dimana. Selama mereka tidak menampakkan diri sudah cukup bagiku.
Sosok hantu orang desa tidak ada lagi diatas sini. Setelah melewati Kuburan kuda, penampakan mereka semakin berkurang hingga hilang sama sekali.
Musuhku yang utama saat ini cuma tanjakan-tanjakan yang semakin curam. Dibeberapa tempat aku bahkan harus menggunakan akar untuk membantuku naik. Sesekali muncul pocong, yang tiap kali selalu membuatku melompat kaget. Kalau sudah begitu biasanya orang itu tertawa terbahak-bahak kegirangan. Rupanya kepanikanku sudah menjadi hiburan buat dia.
"Bener kata abang tadi, setan-setan begitu bisanya cuma muncul hilang, muncul hilang doang. Ngga bisa ngapa-ngapain." Kataku dengan nafas tersengal-sengal.
Dia nyengir. "Yang gua maksud tadi kan Kuntilanak boy hehe." Jawabnya sumringah. "kan gua tadi ngga nyebut pocong."
"Lah kalo pocong gimana bang?"
"Di Afrika ada yang yang namanya cobra penyembur. Dia ngga matok kayak uler lain, tapi dia nyemburin bisa beracun ke muka korbannya." Dia menyambung, "pocong itu cobra penyemburnya dunia setan. Saran gua, kalo liat pocong cuma satu: lari. Lu ga bakal mau kan diludahin pocong."
"Kalo diludahin gimana bang?" Tanyaku.
"Ya buta hahaha." Dia menjawab diiringi gelak tawa senang.
Entah dia bercanda atau tidak, tapi yang jelas aku berharap jangan pernah lagi bertemu pocong.
"Bang, emang bener mitosnya, kalo bisa ngambil tali iketan pocong kita bisa kaya?" Tanyaku iseng.
"Ngapain susah-susah ngambil tali pocong. Ribet amat. Kalo sekedar cuma minta kaya, minta kebal, minta pelet, lu doa aja minta gituan ke pocong." Jawabnya ringan.
"Emang bisa bang?" Tanyaku polos.
"Ya bisa. Apa sih yang setan ngga bisa boy. Tapi lu gila kalo sampe begitu. Emang yang nyiptain lu pocong? Hahaha, manusia makin kesini makin aneh.'' dia menambahkan, "jadi ngga heran gua, kalian sampe ketimpa masalah kayak begini. Hidup lu kebangetan jauh dari agama boy."
Aku termenung mendengar jawabannya yang terkesan ngawur. Tapi ada kebenaran di situ. Memang betul, hidupku sudah melenceng jauh dari yang seharusnya.
Aku bertekad dalam hati, jika bisa lolos dari sini, aku ngga akan meninggalkan sholat.
Lalu aku mendengar bunyi berdebum ringan. Suara benda jatuh. Dengan panik aku mencari-cari sumber suaranya. Orang itu pun mendengar suara itu. Dengan mengikuti arah tatapannya barulah aku melihat sumber suara berdebum itu.
Dari tanjakan didepan kita, seonggok kepala tanpa tubuh tergeletak.
Aku bagai tersengat listrik ketika kepala itu berputar pelan dan menampakkan wajahnya. Mulutnya sobek sampai ke telinga, lidah panjangnya menjulur keluar dan bergerak-gerak mengerikan. Air liurnya menetes. Matanya yang tertutup, pelan-pelan terbuka. Dibalik kelopak mata itu tidak ada apa-apa, hanya lubang hitam. Kosong tapi terlihat mengancam.
Pelan, kepala itu terangat ke udara, menampakkan sisa tubuhnya. Ditempat yang seharusnya leher sekarang nampak hanya tulang. Jaringan urat dan otot yang tampak basah membelit tulang itu. Tampak menggantung jeroan perutnya. Busuk tapi juga berdenyut-denyut.
Makhluk itu melayang dua meter dari tanah. Ditingkahi suara tawa serak dari mulutnya dia meluncur kearahku dengan cepat. Tak mampu bergerak, aku hanya membelalak ngeri
Tapi dengan cepat orang itu menangkap tulang yang menggantung dibawah kepalanya, dibanting ke tanah dan diinjak hingga hancur.
Aku bergidik melihat kejadian barusan. Seperti tidak terjadi apa-apa orang itu kembali berjalan meninggalkanku dibelakang. Kakiku sedemikian gemetar nya hingga membutuhkan waktu beberapa menit untuk mampu berjalan lagi.
Dengan ngeri aku berjingkat minggir menghindari sisa-sisa makhluk itu. Walau hancur tapi dia masih bergerak-gerak lemah.
Tapi tiba-tiba kakiku tak dapat bergerak, tanpa sadar aku minggir terlalu dekat ke semak-semak dan kakiku terjerembab akar yang mencuat dari tanah. Dengan panik aku mengibas-ibaskan akar yang menjepit kakiku tanpa melihatnya. Tapi bukan akar yang kupegang melainkan sesuatu yang kenyal dan lengket. Aku histeris ketika menyadari yang menahan kakiku adalah seonggok tangan putih pucat. Beberapa pasang tangan putih pucat lain muncul dan menarikku ke semak-semak. Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi tenggorokanku tercekat, aku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan kasar tubuhku ditarik makin dalam ke semak. Kurasakan sesuatu yang basah menempel di telingaku, selang seling diantara tawanya dia berbisik: mati.. Mati... Mati..
Lalu kegelapan total.
Saat kesadaranku kembali, kulihat orang itu didepanku. Pipiku berdenyut sakit. Dia baru saja menamparku dengan keras.
Aku terkejut karena aku belum bergerak sedikitpun dari tempat tadi aku berdiri.
"Gua bilang pikiran jangan kosong! Ditempat begini lu ngga boleh melamun, paham ga lu! " Dia membentakku dengan keras.
Aku mengangguk sambil mengusap-usap pipiku yang panas. Jantungku masih bergemuruh kencang seakan tangan tangan mayat tadi masih menempel di tubuhku.
Orang itu menarikku dengan kasar, beberapa langkah kami keluar dari jalur. Menganga didepan kami adalah jurang. Kami berdiri tepat dibibirnya. Angin dingin menabrak wajahku. Dalam kegelapan malam, jurang ini terlihat lebih mengerikan.
Lalu kudengar suara tangisan, juga teriakan-teriakan minta tolong dari dasar jurang ini. Hembusan angin mengacaukan sumber suaranya, kadang terdengar jauh, kadang terdengar dekat.
"Itu teriakan minta tolong dari pendaki-pendaki yang hilang dan ngga pernah ditemuin lagi." Katanya.
"Mereka salah apa bang?" Tanyaku.
"Di gunung ini lu ngga perlu salah apa-apa, cukup bengong aja lu bisa hilang. Jangan salah boy, setan ngga cuma bisa nyulik badan lu, mereka juga bisa nyulik jiwa lu. Makanya kalo gua ngomong dengerin! Bentaknya lagi. Dia lalu jalan berbalik sambil kembali menarikku.
" Bang, itu tolongin dulu mereka bang." Pintaku
Tapi dia tetap berjalan kembali ke jalur. "Bukan urusan gua." Jawabnya ketus.
Sambil berjalan terseret karena tarikannya, aku terus menerus menoleh ke belakang. Aku iba dengan pendaki-pendaki yang hilang itu. Dalam keadaanku sekarang, aku benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
"Mata lu liat kemana!" Bentaknya lagi padaku.
Ketika menoleh, aku kaget karena wajahku hampir saja menabrak sepasang kaki yang menggantung. Terkejut dan kehilangan keseimbangan, aku jatuh terduduk. Kaki itu masih disitu, terjuntai lemah. Mataku membelalak menatap ngeri. Pemilik kaki itu adalah anak kecil seumuran adikku. Lehernya patah terikat tali yang menggantung di sebuah cabang pohon.
Aku semakin terkesiap saat menyadari didepanku membentang sebuah tanjakan terjal, pohon-pohon besar bercabang dengan ranting-rantingnya yang lebat hingga bulan tidak terlihat sedikitpun. Di setiap dahan pohon-pohon itu terbujur kaku mayat yang digantung. Satu disetiap dahan.
Kurasakan dingin memelukku dengan cepat. Aku masih terpaku menatap puluhan pasang kaki yang tergantung itu bergoyang-goyang tertiup angin.
"Jalan boy. Hormatin orang yang udah mati." Kata orang itu.
Aku beringsut ditanah sebelum akhirnya lari mengejar orang itu. Sekilas kulihat tulisan penanda di sebuah pohon: Bapa Tere.
Sengaja aku tidak bertanya apapun tentang mayat-mayat yang tergantung itu. Penampakan mayat anak kecil seusia adikku lebih membuatku sedih daripada takut. Dan aku sama sekali tidak ingin mendengar kisah sedih tentang masa hidup mayat-mayat itu dulu.
Tanjakan ini lebih curam dari yang sebelumnya. Dengan susah payah aku mendaki dari undakan ke undakan. Yang mengherankan, orang itu belum terlihat lelah sama sekali. Dengan rokok di mulutnya dia berjalan dengan santai, kadang melompat di tanjakan terjal ini.
Tiba-tiba dengan mendadak angin berhenti berhembus. Tidak ada bunyi apapun, seakan-akan seluruh hewan malam mendadak bersembunyi. Suasana wingit semakin terasa.
Dari atas tanjakan kulihat orang itu memberikan aba-aba padaku untuk diam tak bergerak.
Lalu sayup-sayup terdengar gending-gending gamelan Jawa. Suaranya terdengar mistis. Awalnya terdengar jauh dan pelan, lama kelamaan suara itu seakan bergerak mendekat dan semakin mendekat diiringi wangi bunga kantil yang semakin pekat.
Yang terjadi selanjutnya adalah...Membentang didepanku bukan lagi tanjakan terjal melainkan tangga batu. Kabut tipis melayang dipuncak anak tangga. Sumber cahaya hanya berasal dari api obor di kanan kiriku. Gending gamelan tadi terdengar jelas sekarang, sumbernya ada diujung tangga ini. Tapi aku tak bisa melihat apapun, selain tangga batu ini, sekitarku hanyalah kabut kelabu.
Aku panik saat menyadari aku berdiri disini seorang diri. Orang itu tidak ada dimanapun. Tubuhku langsung bersimbah keringat dingin. Aku terjatuh diatas lututku, kakiku yang gemetar terlalu lemah untuk berdiri.
Aku sudah hampir tak peduli dengan harimau dikanan kiriku, atau kalong wewe yang pastinya sedang mengawasiku entah dimana. Selama mereka tidak menampakkan diri sudah cukup bagiku.
Sosok hantu orang desa tidak ada lagi diatas sini. Setelah melewati Kuburan kuda, penampakan mereka semakin berkurang hingga hilang sama sekali.
Musuhku yang utama saat ini cuma tanjakan-tanjakan yang semakin curam. Dibeberapa tempat aku bahkan harus menggunakan akar untuk membantuku naik. Sesekali muncul pocong, yang tiap kali selalu membuatku melompat kaget. Kalau sudah begitu biasanya orang itu tertawa terbahak-bahak kegirangan. Rupanya kepanikanku sudah menjadi hiburan buat dia.
"Bener kata abang tadi, setan-setan begitu bisanya cuma muncul hilang, muncul hilang doang. Ngga bisa ngapa-ngapain." Kataku dengan nafas tersengal-sengal.
Dia nyengir. "Yang gua maksud tadi kan Kuntilanak boy hehe." Jawabnya sumringah. "kan gua tadi ngga nyebut pocong."
"Lah kalo pocong gimana bang?"
"Di Afrika ada yang yang namanya cobra penyembur. Dia ngga matok kayak uler lain, tapi dia nyemburin bisa beracun ke muka korbannya." Dia menyambung, "pocong itu cobra penyemburnya dunia setan. Saran gua, kalo liat pocong cuma satu: lari. Lu ga bakal mau kan diludahin pocong."
"Kalo diludahin gimana bang?" Tanyaku.
"Ya buta hahaha." Dia menjawab diiringi gelak tawa senang.
Entah dia bercanda atau tidak, tapi yang jelas aku berharap jangan pernah lagi bertemu pocong.
"Bang, emang bener mitosnya, kalo bisa ngambil tali iketan pocong kita bisa kaya?" Tanyaku iseng.
"Ngapain susah-susah ngambil tali pocong. Ribet amat. Kalo sekedar cuma minta kaya, minta kebal, minta pelet, lu doa aja minta gituan ke pocong." Jawabnya ringan.
"Emang bisa bang?" Tanyaku polos.
"Ya bisa. Apa sih yang setan ngga bisa boy. Tapi lu gila kalo sampe begitu. Emang yang nyiptain lu pocong? Hahaha, manusia makin kesini makin aneh.'' dia menambahkan, "jadi ngga heran gua, kalian sampe ketimpa masalah kayak begini. Hidup lu kebangetan jauh dari agama boy."
Aku termenung mendengar jawabannya yang terkesan ngawur. Tapi ada kebenaran di situ. Memang betul, hidupku sudah melenceng jauh dari yang seharusnya.
Aku bertekad dalam hati, jika bisa lolos dari sini, aku ngga akan meninggalkan sholat.
Lalu aku mendengar bunyi berdebum ringan. Suara benda jatuh. Dengan panik aku mencari-cari sumber suaranya. Orang itu pun mendengar suara itu. Dengan mengikuti arah tatapannya barulah aku melihat sumber suara berdebum itu.
Dari tanjakan didepan kita, seonggok kepala tanpa tubuh tergeletak.
Aku bagai tersengat listrik ketika kepala itu berputar pelan dan menampakkan wajahnya. Mulutnya sobek sampai ke telinga, lidah panjangnya menjulur keluar dan bergerak-gerak mengerikan. Air liurnya menetes. Matanya yang tertutup, pelan-pelan terbuka. Dibalik kelopak mata itu tidak ada apa-apa, hanya lubang hitam. Kosong tapi terlihat mengancam.
Pelan, kepala itu terangat ke udara, menampakkan sisa tubuhnya. Ditempat yang seharusnya leher sekarang nampak hanya tulang. Jaringan urat dan otot yang tampak basah membelit tulang itu. Tampak menggantung jeroan perutnya. Busuk tapi juga berdenyut-denyut.
Makhluk itu melayang dua meter dari tanah. Ditingkahi suara tawa serak dari mulutnya dia meluncur kearahku dengan cepat. Tak mampu bergerak, aku hanya membelalak ngeri
Tapi dengan cepat orang itu menangkap tulang yang menggantung dibawah kepalanya, dibanting ke tanah dan diinjak hingga hancur.
Aku bergidik melihat kejadian barusan. Seperti tidak terjadi apa-apa orang itu kembali berjalan meninggalkanku dibelakang. Kakiku sedemikian gemetar nya hingga membutuhkan waktu beberapa menit untuk mampu berjalan lagi.
Dengan ngeri aku berjingkat minggir menghindari sisa-sisa makhluk itu. Walau hancur tapi dia masih bergerak-gerak lemah.
Tapi tiba-tiba kakiku tak dapat bergerak, tanpa sadar aku minggir terlalu dekat ke semak-semak dan kakiku terjerembab akar yang mencuat dari tanah. Dengan panik aku mengibas-ibaskan akar yang menjepit kakiku tanpa melihatnya. Tapi bukan akar yang kupegang melainkan sesuatu yang kenyal dan lengket. Aku histeris ketika menyadari yang menahan kakiku adalah seonggok tangan putih pucat. Beberapa pasang tangan putih pucat lain muncul dan menarikku ke semak-semak. Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi tenggorokanku tercekat, aku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan kasar tubuhku ditarik makin dalam ke semak. Kurasakan sesuatu yang basah menempel di telingaku, selang seling diantara tawanya dia berbisik: mati.. Mati... Mati..
Lalu kegelapan total.
Saat kesadaranku kembali, kulihat orang itu didepanku. Pipiku berdenyut sakit. Dia baru saja menamparku dengan keras.
Aku terkejut karena aku belum bergerak sedikitpun dari tempat tadi aku berdiri.
"Gua bilang pikiran jangan kosong! Ditempat begini lu ngga boleh melamun, paham ga lu! " Dia membentakku dengan keras.
Aku mengangguk sambil mengusap-usap pipiku yang panas. Jantungku masih bergemuruh kencang seakan tangan tangan mayat tadi masih menempel di tubuhku.
Orang itu menarikku dengan kasar, beberapa langkah kami keluar dari jalur. Menganga didepan kami adalah jurang. Kami berdiri tepat dibibirnya. Angin dingin menabrak wajahku. Dalam kegelapan malam, jurang ini terlihat lebih mengerikan.
Lalu kudengar suara tangisan, juga teriakan-teriakan minta tolong dari dasar jurang ini. Hembusan angin mengacaukan sumber suaranya, kadang terdengar jauh, kadang terdengar dekat.
"Itu teriakan minta tolong dari pendaki-pendaki yang hilang dan ngga pernah ditemuin lagi." Katanya.
"Mereka salah apa bang?" Tanyaku.
"Di gunung ini lu ngga perlu salah apa-apa, cukup bengong aja lu bisa hilang. Jangan salah boy, setan ngga cuma bisa nyulik badan lu, mereka juga bisa nyulik jiwa lu. Makanya kalo gua ngomong dengerin! Bentaknya lagi. Dia lalu jalan berbalik sambil kembali menarikku.
" Bang, itu tolongin dulu mereka bang." Pintaku
Tapi dia tetap berjalan kembali ke jalur. "Bukan urusan gua." Jawabnya ketus.
Sambil berjalan terseret karena tarikannya, aku terus menerus menoleh ke belakang. Aku iba dengan pendaki-pendaki yang hilang itu. Dalam keadaanku sekarang, aku benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
"Mata lu liat kemana!" Bentaknya lagi padaku.
Ketika menoleh, aku kaget karena wajahku hampir saja menabrak sepasang kaki yang menggantung. Terkejut dan kehilangan keseimbangan, aku jatuh terduduk. Kaki itu masih disitu, terjuntai lemah. Mataku membelalak menatap ngeri. Pemilik kaki itu adalah anak kecil seumuran adikku. Lehernya patah terikat tali yang menggantung di sebuah cabang pohon.
Aku semakin terkesiap saat menyadari didepanku membentang sebuah tanjakan terjal, pohon-pohon besar bercabang dengan ranting-rantingnya yang lebat hingga bulan tidak terlihat sedikitpun. Di setiap dahan pohon-pohon itu terbujur kaku mayat yang digantung. Satu disetiap dahan.
Kurasakan dingin memelukku dengan cepat. Aku masih terpaku menatap puluhan pasang kaki yang tergantung itu bergoyang-goyang tertiup angin.
"Jalan boy. Hormatin orang yang udah mati." Kata orang itu.
Aku beringsut ditanah sebelum akhirnya lari mengejar orang itu. Sekilas kulihat tulisan penanda di sebuah pohon: Bapa Tere.
Sengaja aku tidak bertanya apapun tentang mayat-mayat yang tergantung itu. Penampakan mayat anak kecil seusia adikku lebih membuatku sedih daripada takut. Dan aku sama sekali tidak ingin mendengar kisah sedih tentang masa hidup mayat-mayat itu dulu.
Tanjakan ini lebih curam dari yang sebelumnya. Dengan susah payah aku mendaki dari undakan ke undakan. Yang mengherankan, orang itu belum terlihat lelah sama sekali. Dengan rokok di mulutnya dia berjalan dengan santai, kadang melompat di tanjakan terjal ini.
Tiba-tiba dengan mendadak angin berhenti berhembus. Tidak ada bunyi apapun, seakan-akan seluruh hewan malam mendadak bersembunyi. Suasana wingit semakin terasa.
Dari atas tanjakan kulihat orang itu memberikan aba-aba padaku untuk diam tak bergerak.
Lalu sayup-sayup terdengar gending-gending gamelan Jawa. Suaranya terdengar mistis. Awalnya terdengar jauh dan pelan, lama kelamaan suara itu seakan bergerak mendekat dan semakin mendekat diiringi wangi bunga kantil yang semakin pekat.
Yang terjadi selanjutnya adalah...Membentang didepanku bukan lagi tanjakan terjal melainkan tangga batu. Kabut tipis melayang dipuncak anak tangga. Sumber cahaya hanya berasal dari api obor di kanan kiriku. Gending gamelan tadi terdengar jelas sekarang, sumbernya ada diujung tangga ini. Tapi aku tak bisa melihat apapun, selain tangga batu ini, sekitarku hanyalah kabut kelabu.
Aku panik saat menyadari aku berdiri disini seorang diri. Orang itu tidak ada dimanapun. Tubuhku langsung bersimbah keringat dingin. Aku terjatuh diatas lututku, kakiku yang gemetar terlalu lemah untuk berdiri.
.
Dan bau bunga kantil itu datang lagi.
Dan bau bunga kantil itu datang lagi.
Dengan kedua tangan aku menyeret tubuhku kesamping, kakiku sudah benar-benar lemas. Tujuanku secepatnya bersembunyi dibalik tirai kabut sebelum pemilik wangi bunga kantil itu muncul.
Ternyata tertutup dalam kabut adalah hutan. Tubuhku beringsut dibalik pohon terdekat. Nafasku kembang kempis tak beraturan.
Wangi bunga kantil itu semakin pekat. Bulu kudukku meremang saat kuberanikan diri mengintip ke arah tangga batu itu. Sesuatu melayang dari tangga terbawah , berhenti sebentar di titik dimana tadi aku berdiri, lalu melayang keatas anak tangga dan hilang dibalik kabut. Itu adalah sosok nenek tua. auranya sedemikian mengerikan, hingga aku langsung menggigil hebat. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Dan rambutnya luar biasa panjang. Bahkan saat tubuhnya hilang dibalik kabut, rambutnya masih terlihat bergerak selama beberapa saat.
Aku benar-benar cemas dan luar biasa panik. Tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku menyadari kebodohanku sekarang. Aku terlalu bergantung pada orang itu. Padahal sejak di Cibunar aku sudah bertekad akan melakukan ini sendiri.
Sekarang aku disini, sendiri. Tangga batu, obor, kabut kelabu, sepenuh hati aku sadar, aku tersesat di alam lain. Aku terus menerus mengingatkan diri sendiri, aku harus tenang, aku harus pulang, aku tidak boleh mati disini.
Ketenanganku cuma berhasil beberapa detik. Saat kabut sedikit menipis kulihat sesuatu yang nyaris membuatku histeris jika saja tidak ada tangan yang membekap mulutku. Orang itu sudah ada disampingku, tangannya masih membekap mulutku. Dia memberi aba-aba untuk tenang.
Baru kusadari, didepanku tergeletak banyak tubuh pendaki gunung. Satu tubuh malah tepat ada disampingku. Yang lain terserak tak beraturan. Mereka semua tertidur. Hanya saja kulitnya sepucat mayat
Orang itu menyuruhku berdiri dengan tenang. Aku diperintahkan mengikutinya. Dia berjalan menjauhi tangga batu, masuk menembus kegelapan hutan. Aku berjingkat-jingkat berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.
Seekor gagak diatasku. Melompat dari dahan ke dahan seakan mengikuti.
"Abang dari mana tadi? I... Itu siapa bang? Me.. Mereka tadi? " Suaraku gemetar bertanya.
Tidak seperti biasanya, dia menjawab dengan berbisik, "ini bukan tempat lu lagi boy, jangan sampai ada yang tau kita disini."
Aku mengangguk pelan. Tapi masih tetap menunggu penjelasan.
"Itu pendaki yang.... Udahlah, ngga perlu tau. Pokoknya jangan sampe mereka bangun." Bisiknya lagi.
Kami berjalan semakin jauh masuk kedalam hutan. Aku tercengang melihat agak jauh di samping kananku, menjulang diantara hutan dan kabut sebuah bangunan besar. Ditengah malam seperti ini, bangunan besar dengan menara-menaranya yang tinggi tanpa penerangan sama sekali terlihat bagai raksasa. Rupanya dari sanalah sumber suara gending-gending itu.
Aku membuang muka, tidak ingin membayangkan mahkluk-mahkluk apa yang ada didalam sana dan kembali fokus melihat punggung orang itu yang berjalan didepanku. Suasana sekitar hening mencekam. Tidak ada satu pun bunyi suara binatang hutan. Kabut tipis melayang rendah diantara pohon-pohon cantigi.
Lalu mendadak kita sampai ditepi hutan. Orang itu berhenti. Dia memberiku aba-aba untuk mundur beberapa langkah dan bersembunyi dibalik semak.
Didepan kami menghampar tanah lapang yang luas. Aku tak tahu seberapa luasnya karena tertutup kegelapan dan tirai kabut.
"Boy, kita udah sampe. Mulai dari sini lu jalan sendiri. Inget untuk apa lu jauh-jauh ke sini kan?" Orang itu membuka pembicaraan.
"Iya bang. Ngambil pembalut yang dibuang Ayu." Kataku.
"Jalan lurus aja. Jangan bikin keributan. Jangan narik perhatian. Jangan sampe Nyi Linggi tau keberadaan lu."
Aku mengangguk mengerti, "tapi bukannya Nyi Linggi baik bang, kan dia yang nolong waktu ada Kalong Wewe.. " Tanyaku.
"Gua jelasin ya. Nyi Linggi yang kasih syarat untuk ambil lagi sampah sialan tadi. Dia yang bikin lu sampe naik kesini boy." Jawab orang itu, "ada maksudnya kenapa dia nolong lu tadi. Dia mau lu sampe istananya tanpa luka apa-apa."
"Gimana maksudnya bang." Tanyaku masih tidak mengerti.
"Syarat itu cuma akal-akalan aja boy. Nyi Linggi itu mau ngunduh mantu. Ngerti ga lu? Dia itu mau ngawinin?"bisiknya.
"Siapa yang mau dikawinin bang?" Aku masih tidak paham arah pembicaraanya.
"Elu boy."
Bagai tersambar petir aku mendengar jawabannya. Jadi aku dengan lugu masuk perangkap. Tubuhku sontak menggigil.
Orang itu mengeluarkan rokok dari kantongnya, menjepit dimulut lalu membakarnya. Asap tipis mengepul dari bibirnya. Aku terpana, dalam keadaan begini bisa-bisanya dia merokok dengan tenang.
Lalu kesadaran menghantamku. Aku beranikan diri bertanya padanya. "Jadi abang nganter saya kesini biar saya bisa dikorbanin bang?" Tanyaku.
Dia dengan kurangajar menghembuskan asap rokoknya ke wajahku. "Gua ada disini untuk mastiin lu naik dengan selamat untuk ngambil sampah sialan itu biar temen lu bisa ketolong. Dan mastiin lu turun dengan selamat.''jawabnya dengan tenang, " Cuma lu yang bisa nolong temen lu. Dan cuma gua yang bisa nolong lu."
"I.. Iya, maaf bang." Aku menyesali keraguanku.
"Sekarang lu jalan. Lurus aja kedepan. Kalo udah ketemu, sampahnya lu bungkus kain putih yang lu bawa. Langsung balik kesini." Perintahnya.
Aku mengangguk mengerti. Lalu dengan mengendap-endap aku melangkah maju menuju tanah lapang ini.
Kabut bagaikan punya nyawa sendiri, bergerak-gerak pelan tanpa ada angin. Semakin jauh ku melangkah kabut kelabu ini semakin tebal. Sementara dikejauhan tampak siluet hutan dan bayangan gelap bangunan istana Nyi Linggi.
Aku terkesiap saat mataku melihat sesuatu dibalik kabut didepanku. Dalam diam aku berhenti lalu berjongkok sambil mataku tetap memandang siluet didalam kabut itu.
Pelan aku menyeret kakiku bergerak mendekat. Keringat menetes didahiku. Semakin dekat, bayangan itu mulai terlihat semakin jelas. Nampak seperti gundukan sesuatu.
Saat akhirnya kabut tersibak, aku terkejut mendapati apa yang kulihat. Itu adalah kuburan baru. Nampak dari tanahnya yang masih merah dan gembur. Diatasnya tergeletak begitu saja tampaknya adalah pembalut yang kemarin dibuang Ayu. Dari pembalut itu merembes darah segar berbau anyir. Lelehan darah itu mengalir kebawah hingga akhirnya membuat genangan darah dibatas kabut.
Tubuhku mengejang membaca nama yang tertulis di nisan kuburan itu. Nama Ayu tertulis jelas disana, lengkap dengan tanggal lahirnya. Bulu kuduk ku berdiri melihat tanggal kematiannya adalah tanggal hari ini.
Dengan tangan gemetar kukeluarkan kain putih dari kantong celanaku. Kuangkat pembalut yang masih terus meneteskan darah itu dan segera kubungkus dengan kain tadi.
Seiring kabut yang semakin menipis, sudut mataku menyadari ada sesuatu yang bergerak-gerak. Aku berteriak histeris dan jatuh terduduk saat kabut menyibakkan tirainya.
Nampak sesosok makhluk yang sedang menjilati darah ditempat genangan tadi. Wajahnya penuh darah. Lidahnya panjang terjulur. Tangan dan kakinya menekuk seperti kucing. Rambut panjangnya lepek dan matanya menatap lurus kearahku.
Dengan kaki gemetar aku beringsut mundur dengan perlahan. Sebisa mungkin tidak membuat gerakan mendadak. Mata makhluk itu terus saja menatapku yang dengan pelan bergerak mundur. Tapi dia tetap disana. Lidahnya sudah berhenti menjilat darah. Tapi dia tetap disana.
Lalu kurasakan sesuatu yang lembut tersentuh punggungku. Aku langsung berhenti dan dengan tegang menengok ke belakang. Tubuhku membeku. Berdiri tepat dibelakangku dengan rambut terurai panjang hingga ketanah.
.... Nyi Linggi....
Next Part 3#