Cerita by: Aras Anggoro
Pendakian Gunung Dempo Pagar, Sumatra Selatan Part 1.
Walau
tenaga sudah nyaris habis, tapi aku bersyukur karena sudah berhasil
mencapai Puncak Dempo dan Puncak Merapi berturut-turut. Sekarang yang
kami perlukan tinggal menuju Pelataran, masuk tenda dan istirahat.
Kami berenam, lima laki-laki: Amran, Idan, Anes, Ale, aku, dan satu
orang perempuan: Yuni. Kami semua masih sekolah, hanya Bang Amran dan
Bang Idan yang sudah lulus. Dalam
pendakian Dempo ini, Bang Idan bertindak sebagai pemimpin rombongan
karena selain lebih tua, dia juga pernah kesini sebelumnya, begitupun
Bang Amran dan Yuni. Sementara buat yang lainnya, termasuk aku, ini
adalah pendakian perdana.
Ada kekhilafan konyol namun akibat
yang ditimbulkan tak pernah terbayangkan oleh kami. Tanpa sengaja Bang
Idan membawa kartu remi bergambar porno di carriernya. Bang Idan
menemukan kartu itu di kantong celananya ketika baru saja berganti
pakaian setelah kami baru sampai di Pelataran.
"Gituan kenapa dibawa Dan? Kau ini ngajarin ngga bener aja." Kata Bang Amran ketika melihat tumpukan kartu itu.
"Tak sengaja aku Am." Jawab Bang Idan malu-malu, lalu menambahkan
sambil cengar-cengir, "habis kami mainkan kemarin malam, eeh kok malah
ikut terbawa packing."
"Hati-hatilah Dan. Mereka ini masih
sekolah, apalagi ada perempuan." Sambung Bang Amran. Bang Idan cuma
garuk-garuk kepala sambil tersenyum malu. Tapi insiden itu segera kami
lupakan, malah kami justru bersyukur, kartu-kartu remi bergambar porno
itu segera kami mainkan walau terpaksa sambil menahan air liur melihat
gambar-gambar syur nya.
Menjelang magrib aku mendekati Anes dan
Yuni yang sedang memasak nasi di luar tenda, mengabarkan kalau kami
hendak sholat magrib berjamaah dulu.
"Aku sholat magrib dulu Nes, Yun." Kataku.
Anes menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Iya Pin, aku disini nemenin Yuni. Dia haids ternyata."
"Tadi ngga?" Balasku.
"Baru banget dapet." Kali ini Yuni yang menjawab tanpa menoleh ke arahku.
Akhirnya kami berempat sholat magrib berjamaah, sedang Yuni dan Anes
berbeda keyakinan. Selesai sholat bersamaan nasi matang. Tapi baru saja
kami bersiap untuk makan, tiba-tiba gerimis disertai angin kencang yang
disusul oleh badai menerjang. Kami semua langsung buru-buru masuk tenda.
Rasa lapar sudah tak terpikirkan lagi. Hujan besar dan angin kencang
seakan berniat ingin merubuhkan tenda kami.
Frame tenda terdengar
bergemeretak menahan tekanan badai. Kain tenda yang lepas dari pasaknya
berkibar-kibar menghasilkan suara yang menciutkan nyali. Aku melihat
satu persatu wajah pucat pasi teman-temanku. Ini adalah pengalaman
pertama kami dihantam badai dahsyat di atas gunung. Nyaliku turun hingga
titik terendah, apalagi tidak ada orang lain di gunung ini selain kami.
Yang paling kutakutkan adalah jika tenda kami diterbangkan badai,
karena kurasakan semakin lama tiupan angin malah semakin kencang. Aku
lalu berinisiatif keluar untuk mengecek dan mengencangkan pasak-pasak
tenda. Bang Amran ikut keluar bersamaku. Masing-masing kami memegang
sebuah senter karena gelap sudah mulai turun. Baru saja menyembulkan
kepalaku keluar tenda, hujan dan angin langsung menampar wajahku. Aku
gelagapan mencoba bernafas. Angin yang terlalu kencang membuatku
kesulitan menghirup udara.
Tapi selain badai angin ini ada
suara lain yang menarik perhatianku dan Bang Amran. Suara itu hilang
timbul diantara desingan suara angin badai, namun yang jelas
intensitasnya semakin meningkat. Suara itu bagaikan berasal dari dalam
tanah, rasanya aku juga bisa merasakan getaran di bawah kakiku.
Lalu mataku melihat sesuatu yang paling mengerikan yang pernah kulihat.
Bang Amran juga tampak membelalak seakan tak mempercayai
penglihatannya. Sekian detik, kaki kami berdua seakan tertancap ke tanah
tak mampu digerakkan.
Lalu saat kesadaranku pulih, sekuat tenaga aku berteriak pada teman-teman di dalam tenda.
"AIR BAH!! KABUR! KABUR!! LARI!!!" Aku berteriak-teriak dengan panik.
Mendengar teriakanku, teman-temanku langsung berhamburan keluar tenda
dan dengan mata kepala sendiri melihat pemandangan paling mencekam yang
pernah kami lihat.
Dengan ngeri kami melihat dari atas Puncak
Merapi air bah turun bergulung-gulung ke arah kami. Tanpa berpikir lagi
kami langsung lari tunggang-langgang ke arah yang lebih tinggi. Waktu
seakan bergerak lambat bagi kami, sementara dibelakang suara air bah
terdengar semakin mendekat dengan cepat. Yuni berlari sambil
terjatuh-jatuh karena panik.
Kami tiba ditempat yang aman tepat
waktu. Dengan mata kepala sendiri, kami menyaksikan air bah menerjang
tenda kami, mengoyaknya dan hilang terbawa aliran banjir.
Kulihat Yuni terjatuh lalu menangis. Teman-teman yang lain juga terlihat
shock. Aku memandangi kedua tanganku yang gemetar hebat. Kami hampir
saja mati barusan.
Aku tak menyangka air di kawah Puncak Merapi
bisa naik dan menimbulkan air bah. Terlambat sedikit saja, kami akan
ikut terseret seperti nasib tenda kami. Untunglah tidak ada orang lain
selain kami di Pelataran.
Malam semakin gelap. Badai sudah
kehilangan kekuatannya, tapi hujan rintik masih belum berhenti. Kami
berkumpul berdesak-desakan, bingung harus berbuat apa. Tenda dan seluruh
peralatan kami sudah hilang tak berbekas. Yang tersisa hanya senter
yang aku dan Bang Amran pegang.
Malam semakin pekat. Tak dapat
lagi kami bedakan mana tanah dan mana langit. Puncak Merapi hanya
terlihat sekilas ketika petir menyambar. Setelahnya kembali hanya
kegelapan.
Bang Idan akhirnya mengambil keputusan untuk turun.
Semakin lama kami diam ditempat tanpa tenda akan semakin berbahaya. Apa
lagi kami masih harus melewati Puncak dempo untuk turun. Belum lagi suhu
dingin ditambah hujan rintik, hypothermia bisa menerkam kami kapan
saja.
Kami berjalan pelan. Jalanan berbatu kearah puncak Dempo
menjadi licin akibat hujan. Kami harus berhati-hati. Bang Amran berjalan
di depan sambil mengarahkan senternya memperhatikan jalur yang kian
menanjak. Di belakangnya mengekor adalah aku, Yuni, Ale dan Anes. Senter
satu lagi kuserahkan pada Bang Idan yang berjalan paling belakang.
Aku sedang konsentrasi pada nafasku ketika tiba-tiba petir menyambar
pucuk pohon cantigi di belakang kami. Jantungku hampir copot karena
kaget. Sebuah titik api terlihat di bekas sambaran petir tadi sebelum
akhirnya hilang tersiram hujan. Kami semua saling berpandangan tanpa
berkata apa-apa. Belum juga hilang rasa kaget kami, sebuah petir yang
lain menyambar pohon cantigi yang lebih dekat. Lalu petir yang lain
menyambar sebuah batu besar yang jaraknya lebih dekat lagi. Batu itu
langsung terbelah dan terbakar api. Jantungku berderap kencang. Firasat
ku mengatakan ada sesuatu yang salah. Instingku berteriak-teriak agar
aku cepat lari dari situ. Petir-petir ini mengejar kami!!
Dan
tanpa komando lagi, kami semua berlarian dengan panik semampu yang kami
bisa. Petir- petir terus menyambar di belakang kami, semakin mendekat.
Tiap kali suaranya menggelegar jantungku seakan berhenti berdetak. Dalam
kepanikan itu sesekali kudengar isak tangis Yuni yang ketakutan.
Lalu sebuah tiang cahaya putih raksasa menghunjam beberapa meter di
depan kami. Aku pasrah. Petir sedekat ini, aku tak mungkin selamat.
Tapi itu bukan petir.
Di depan kami, hanya beberapa meter jauhnya, adalah seorang perempuan
cantik bergaun putih. Matanya menatap kami penuh kebencian. Mimik
wajahnya terlihat sangat marah.
Seluruh tubuhku gemetar, tapi
aku tak mampu bergerak walau hanya untuk menunduk. Yang bisa kami
lakukan hanya terpaku menatap senyum sinisnya. Kedua tangannya terlihat
sedang memainkan sesuatu. Dan jantungku berdesir, menyadari yang ada
ditangannya adalah kartu remi bergambar porno milik Bang Idan.
Seiring senyumnya yang menghilang, tangannya terangkat pelan dan
terlihat mengancam. Jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah Yuni. Lalu
sebuah suara terdengar, lembut tapi mengerikan.
".....Kamu punya saya.... "
Sebuah petir menyambar lagi, seketika perempuan bergaun putih itu
hilang tak berbekas diiringi suara cekikikan yang menggema diantara
pohon-pohon cantigi Puncak Dempo.
Aku ketakutan setengah mati.
Kakiku mendadak lemas dan mataku mulai panas. Yuni lebih parah. Kulihat
tubuhnya gemetar tak terkendali.
Bang Idan yang paling duluan menguasai diri segera menggamit tanganku dan Yuni dan meminta kami segera bergerak.
"Ayo gerak. Ini udah ngga beres. Penghuni sini marah sama kita." Kata Bang Idan.
Setengah berlari kami bergerak menuruni jalur setapak Puncak Dempo.
Tapi segera kami mulai melambat lagi. Walau hati ingin secepatnya
meninggalkan tempat itu, tapi keadaan tidak mendukung. Keadaan malam
yang gelap gulita ditambah jalur berbatu yang licin karena basah dan
sumber cahaya yang hanya ada didepan dan belakang malah membuat kami
lebih lambat dari sebelumnya.
Tiap kali kudengar gema suara cekikikan
dibalik kegelapan rimbunan pohon cantigi, kakiku secara refleks ingin
segera kabur tapi berpisah dari rombongan bukan pilihan. Dari sudut mata
bisa kulihat kelebatan-kelebatan sosok putih, dan aku sungguh tak ingin
memastikan sosok apa itu sebenarnya.
Gerimis sudah berhenti
dan bulan mengintip sedikit di balik awan. Tapi hembusan angin masih
setajam silet. Aku sudah tak mampu membedakan apakah menggigil karena
ketakutan atau kedinginan. Teman-teman yang lain keadaannya hampir sama
denganku: Yuni, Ale dan Anes. Kami masih mampu bergerak karena kami
merasa dijaga oleh Bang Idan di depan dan Bang Amran di belakang.
Berkali-kali mereka selalu mengingatkan untuk bergerak dan terus berdoa.
Kudengar suara Anes di belakangku bertanya pada Bang Amran.
"Bang, tadi itu siapa bang?" Walau suaranya pelan tapi masih cukup terdengar olehku.
Bang Amran tidak langsung menjawab, ada jeda sebentar sebelum akhirnya dijawab dengan suara yang terdengar ragu.
*****
Putri Dempo#
Kami
melanjutkan melangkah turun dengan pelan dan beriringan. Aku terus
menerus merasa was-was seakan ada banyak mata yang sedang mengawasi
kami. Kadang aku tersentak kaget melihat cahaya senter yang disorot ke
tanah dari belakangku, padahal hanya cahaya senter Bang Amran.
Nafas-nafas kami terdengar berat. Otot betis dan pahaku mulai terasa
kaku. Tapi tiap kali ingin minta
istirahat, gema cekikikan kembali terdengar dari dalam kegelapan hutan.
Suara itu seakan menertawakan kami yang dicekam ketakutan. Dan Bang Idan
juga terus menerus meminta kami lebih cepat.
Aku mengerti
kekhawatiran Bang Idan. Gunung Dempo ini bukan gunung sembarangan.
Secara berkala di gunung ini terus menerus terjadi insiden yang serius.
Orang hilang dan meninggal sudah umum terdengar. Ingatan akan hal ini
yang membuatku terus memaksakan diri untuk berjalan walau sudah luar
biasa letih.
Disini posisi jalan kami berubah. Bang Amran dan Bang Idan berganti posisi. Yuni dibelakang Bang Amran dan aku di tengah.
Dari belakang kudengar suara Bang Idan mengingatkan untuk jalan dan jangan putus berdoa.
"Nes, doa menurut keyakinan kamu, Yuni juga." Suara Bang Idan mengingatkan Anes berdoa.
"Iya bang." Jawab Anes.
Aku lega karena kami sudah melewati hutan cantigi. Pohon-pohon cantigi
dengan cabangnya yang kurus seperti jari-jari mayat membuatku tak
nyaman. Kami mulai masuk hutan yang disepanjang jalur berisi pohon-pohon
besar dan mulai rapat. Dibelakang pohon-pohon itu kabut putih bergerak
pelan. Bayangan samar pohon-pohon kurus dibalik kabut bagiku seakan
hidup dan mengawasi langkah kami.
"Pin, fokus ke depan. Jangan tengok kiri kanan." Suara Bang Idan terdengar dari belakang.
"Iya bang." Aku menjawab.
Tanpa diminta sebenarnya aku pun mulai jengah dengan suasana sekitar.
Kabut-kabut yang bergerak pelan diantara pohon dan rimbunan semak
mengajakku berpikir yang aneh-aneh. Lagi pula jalanan yang kian menurun
curam menuntut perhatian lebih, apa lagi ditambah minim penerangan.
Sering aku ragu untuk melangkah dan harus meminta di senter lebih dulu.
Lalu kurasakan bulu kudukku meremang. Dari sudut mata seringkali
terlihat melintas sesuatu, tapi ku paksa pandanganku terus fokus
kedepan. Hingga tiba-tiba diluar keinginanku sendiri wajahku pelan-pelan
menoleh ke samping kanan. Mataku langsung menatap dua buah
kunang-kunang yang terbang kira-kita satu meter dariku. Pandanganku
bagai terpaku ke arah dua cahaya kecil itu. Semakin lama kutatap, cahaya
kecil itu pelan-pelan semakin membesar. Tubuhku langsung kaku ketika
menyadari itu bukanlah kunang-kunang, melainkan sepasang mata berwarna
merah menyala.
Mata itu menatap lekat padaku tanpa berkedip.
Sorot matanya terlihat sadis dan menampakkan ketidak-sukaan. Pelan-pelan
wajahnya terlihat, lalu rambutnya, hingga akhirnya terlihat seluruh
tubuhnya. Laki-laki itu memakai pakaian serba hitam. Rambutnya panjang
dan berantakan.
Aku masih belum mampu menggerakkan tubuhku. Leherku kaku. Bahkan untuk mengeluarkan suara pun aku tak bisa.
Tiba-tiba jantungku seakan lepas ketika wajah makhluk tadi dalam
sekejap sudah berada sejengkal dari wajahku. Tapi wajah itu kini berubah
menjadi busuk, dengan belatung-belatung yang menggeliat dan keluar
masuk di mata, hidung dan kulit pipinya. Bau bangkai yang sangat busuk
terhirup dan membuatku mual. Mataku membelalak ngeri dan reflek
berteriak sekuat tenaga. Dan wajah busuk itu terus mendekat. Jeritanku
makin menjadi ketika kulihat kulit dan daging yang busuk di pipinya
berjatuhan ke tanah.
Sebuah tamparan keras menyadarkanku. Itu
adalah Bang Idan yang tiba-tiba sudah ada didepanku. Ketika kesadaranku
mulai pulih, aku mendapati diriku sedang duduk dengan posisi tangan
menutupi wajahku. Teman-teman yang lain ada di sekelilingku.
Bibirku gemetar, begitu juga seluruh tubuhku. Mataku nanar mencari-cari
keberadaan makhluk tadi. Lalu Bang Idan memegangi wajahku dengan dua
tangannya dan memaksaku melihat lurus ke matanya.
"Dek, sadar dek.'' kudengar lembut suaranya.
Tapi aku masih saja menjerit ketakutan, hingga tamparan kedua mendarat di pipiku barulah aku sadar sepenuhnya.
Dengan bibir gemetar aku berusaha menjelaskan pada Bang Idan tentang
penampakan tadi, tapi yang keluar dari bibirku hanya gumaman-gumaman
yang tak jelas.
"Istighfar dek." Ucap Bang Idan lagi.
Aku menurut. Aku mulai beristighfar tanpa suara. Pelan-pelan aku kembali
tenang. Nafasku tidak lagi berpacu. Disampingku, Bang Amran berjongkok
sambil mengusap-usap punggungku untuk menenangkanku.
"Istirahat sebentar Dan, kasian adek-adek ini pasti lelah." Kudengar Bang Amran berbicara pada Bang Idan.
Perutku yang masih mual karena mencium bau busuk tadi berkontraksi dan
akhirnya aku muntah-muntah. Bang Amran mengurut-urut leher belakangku
sambil aku terus muntah.
Melihat keadaanku dan mungkin juga
keadaan teman-teman yang lain, akhirnya Bang Idan setuju kami istirahat
sebentar. Lalu Bang Idan berbicara padaku.
"Kan abang sudah bilang dek, jangan tengok-tengok, fokus saja ke depan." Katanya.
"Aku tidak noleh bang," Bela ku, "kepalaku muter sendiri."
Kulihat Bang Idan agak terkejut dengan jawabanku.
"Ya udah. Istighfar aja, nyebut dek." Kata Bang Idan lagi, "apa yang dilihat jangan diceritain ya dek."
Aku mengangguk mengerti. Karena selain Bang Idan dan Bang Amran, kulihat mimik ketakutan di wajah Yuni, Ale dan Anes.
Belum tuntas hilang rasa takutku, Bang Idan memberi aba-aba supaya kami
mulai bergerak lagi. Aku yang masih lemas, dipapah oleh Ale dibantu
Anes. Bang Idan kembali memposisikan diri di belakang.
"Ingat
ya. Pandangan lurus aja kedepan. Kalo ada melihat sesuatu, diam aja.
Jangan diceritain." Suara Bang Idan berbicara pada kami semua.
Belum sempat salah satu diantara kami menjawab, kulihat sesuatu terbang
melintas di depan kami. Rasa penasaran rupanya lebih besar dari pada
rasa takutku. Sebuah sifat yang membuatku menyesal. Kulihat diatas kami,
beberapa sosok Kuntilanak terbang dari pohon ke pohon. Kuntilanak itu
menyeringai, suara tawanya saja sudah cukup untuk mendirikan bulu
kudukku. Buru-buru ku paksa wajahku menatap tanah, berharap mereka tidak
melihatku.
Lalu kurasakan tangan Ale yang sedang memapahku
tersentak. Kuikuti pandangan mata Ale yang sedang melihat ke samping.
Dibalik pepohonan kulihat sosok besar bermata merah. Seluruh badannya
nampak dipenuhi bulu. Tapi Ale tetap diam tak bersuara, walau wajahnya
pucat pasi dan keringat banjir di wajahnya.
Penampakan demi
penampakan terus bermunculan di sana sini. Di atas, di dahan-dahan
pohon, dibalik semak. Sesekali kami saling bertabrakan karena Bang Amran
yang paling depan mendadak berhenti. Sekali karena Kuntilanak yang
tiba-tiba melintas. Lain waktu ada pocong yang menghalangi jalur.
Bau-bauan timbul dan menghilang. Bau bangkai digantikan bau bunga
melati yang amat pekat, juga wangi bunga kamboja. Jantungku bergemuruh.
Doa-doa tak putus ku bisikkan hingga mulutku terasa kering pun tak
peduli. Aku tak ingin menjadi salah satu korban Gunung dempo.
Lalu telingaku menangkap bunyi-bunyian ganjil. Awalnya hanya suara
bisik-bisik dari balik Kabut. Semakin lama suara-suara lain tumpang
tindih ditelingaku. Asalnya dari berbagai arah. Ada suara orang
bercakap-cakap, suara musik, suara orang menyapu, suara geram harimau
dan banyak lagi. Dan ada satu suara yang membuatku bergidik ngeri.
Suaranya terdengar teredam dan jauh, namun suara itu tak pernah
berhenti. Itu adalah suara yang memanggil-manggil namaku.
"..... Alpin...... Alpin...... Alpin.....
****
Bersambung